Langsung ke konten utama

NGAJI ILMU MANAJEMEN





ILMU MANAJEMEN LANJUTAN 
oleh : Agus Pranamulia




        
1. Perbedaan Budaya, Perilaku dan Tradisi sangat berpengaruh dalam sistem Manajemen Global. Berikan contoh perbandingan sistem manajemen Amerika dan Jepang ditinjau dari beberapa aspek. Gaya Manajemen

Tabel Perbandingan sistem manajemen Jepang dan Amerika
Komponen
Jepang
Amerika
Mitos atas Hero
Kelompok
Individu
Sikap
ketergantungan
Independensi
Tekanan
Kewajiban
Hak
Gaya
Kerjasama
Kompetisi
Asumsi
Interdependensi
Independensi
Anggapan terhadap diri sendiri
Manusia Organisasi
Individual Skill
Sikap Kultural
Unik, adopter, pangsa pasar, pasaran dunia, mutu, nilai, pelanggan
Setara, Profitabilitas, sukses finansial, pasaran nasional, produk, balas jasa
Identitas Karyawan
Perusahaan
Ketrampilan, Fungsi
Manajemen
Generalis
Spesialis
Percaya dengan
Perasaan
Pikiran
Hubungan Pemerintah – Bisnis
Kerjasama
Pemisahan
Stakeholder Inti
Karyawan
Pemegang Saham

Jepang merupakan negara homogen dengan budaya kerja yang di atas rata-rata penduduk dunia (workaholic). Dan mereka bekerja dengan penuh totalitas. Shokunin, adalah kata dalam bahasa jepang yang berarti menguasai satu bidang profesi, merupakan filosofi masyarakat Jepang dalam bekerja.

Orang jepang cenderung berbangga hati dengan pekerjaan mereka dan berprinsip bahwa proses kerja yang baik menentukan hasil yang baik pula. Sementara Ikigai adalah tipe ideal hidup yang dicita-citakan setiap orang Jepang sebagai bentuk keseimbangan antara kehidupan personal, passion, profesi dan manfaat sosial bagi sesama. Namun budaya kerja ini sering kali menimbulkan ‘karoshi’ atau kematian akibat kelelahan dalam bekerja.

Budaya organisasi Jepang adalah melalui pendekatan personal. Sebagai masyarakat yang ekspresif, Jepang cenderung lebih suka menggunakan simbol sebagai bentuk sopan dalam berkomunikasi. Ini terbukti dengan budaya mereka yang menggunakan Kanji. Serta simbol-simbol emoticon. Kritik dalam organisasi disampaikan secara halus dan secara tidak langsung. Berbeda dengan budaya organisasi Amerika yang cenderung terbuka dan tactful (blak-blakan).

William Ouchi, memperkenalkan teori Z pada tahun 1981 untuk mengambarkan adaptasi Amerika atas perilaku organisasi Jepang. Adapun teori Z didasarkan pada perbandingan manajemen dalam organisasi Jepang disebut tipe perusahaan Jepang dengan manajemen dalam perusahaan Amerika yang disebut tipe Amerika. Berikut adalah perbedaan organisasi tipe Amerika dan tipe Jepang.

Para karyawan selalu bekerja berpindah-pindah (short term employment). Bagi oang Amerika untuk mencari kesempatan, kemajuan dan perubahan karir dengan cara berpindah-pindah diantara majikan dan organisasi merupakan hal yang biasa.

Dalam pengambilan keputusan selalu bersifat pribadi (individual decision making). Umumnya orang Amerika cenderung mempercayai pertimbangan indiviual dan lebih suka membuat keputusan sendiri. Mempunyai tanggungjawab individu (Individual responsibility). Para pekerja Amerika lebih suka berinisiatif secara pribadi dan memikul tanggungjawabnya sebagai individu dan bukan kelompok.

Kemajuan yang cepat (Rapid evaluation and promotion). Keberhasilan para keryawan diukur dengan cepat dimana para karyawan secara ekonomi dan sosial mendapatkan kemajuan yang cepat, dengan suatu kelebihan.

Spesialisasi dalam karir (specialized career paths). Pada organisasi di Amerika didasarkan pada spesialisasi ketrampilan dan tenaga kerja; karyawan menciptakan intensitas dalam perilaku karir dan mengukir jalur karir.

Mekanisme pengendalian yang eksplisit (exsplicit control mechanism). Oraganisasi Amerika memiliki standar dan pengendalian yang eksplisit dalam pekerjaan dan penilaian sehingga para karyawan menginginkan mekanisme pengendalian yang ekplisit serta petunjuk-petunjuk kerja.

Perhentian yang terpusat pada karyawan (focus consern for employees). Perusahaan-perusahaan Amerika cenderung hanya memandang peran karyawan pada pekerjaan mereka dan, memberikan sedikit perhatian secara menyeluruh seperti keluarga, masalah-masalah sosial, kesehatan pribadi dan kesejahteraan umum.Kalau kita melihat hasil observasi dan penelitian para pakar mereka memenuhi type para pekerja Jepang yang berbeda dengan type Amerika. Adapun Manajemen Tipe Jepang.

Bekerja seumur hidup (lifetime employment). Pekerjaan Jepang cenderung melakukan komitment seumur hidup terhadap organisasi mereka, sehingga organisasi memikul tanggung jawab untuk mempekerjakan karyawan seumur hidup.

Pengambilan keputusan secara kolektif (collective decision making). Karyawan dan manajer mencari konsensus keputusan dan mendorong proses pengambilan keputusan secaro kolektif.

Tanggung jawab kelompok (collective responsibility). Masyarakat Jepang lebih suka memproses dan menerima tanggung jawab secara kelompok melalui komunikasi bersama, ganjaran kelompok adalah umum.

Kemajuan yang sistematis secara perlahan (evulution and promotion). Karyawan maju dengan perlahan melalui tingkatan yang telah ditentukan, dimana promosi, loyalitas dan prilaku yang harmonis dipertimbangkan.

Perspektif karier umum (non Specialized career paths). Organisasi Jepang tidak menekankan spesialisasi, akan tetapi lebih menyukai eksibilitas dan pelatihan internal, sehingga mereka dapat menugaskan kembali personel dan mengembangkan keterampilan di antara mereka sebagai anggota­nggota organisasi. Karir dihubungkan dengan organisasi, bukanlah profesi.

Sistem pengendalian yang implisit (implicit control mechanism). Bangsa Jepang selalu menekankan pengendalian mutu (Quality Control) dan metode pengendalian proses, dimana pada kegiatan operasional standar-standar dan kriteria pekerja merupakan tujuan utama dan pengendalian secara implisit sangat tergantung pada keputusan yang terjadi di lapangan.

Perhatian holistik terhadap pekerja (Wholistic concern for people). Organisasi Jepang sangat memperhatikan para pekerja hingga di luar lingkungan pekerja dan membantu pekerja secara menyeluruh dalam berbagai bidang yaitu perumahan, pelayanan untuk kesehatan mental dan fisik, dan sebagainya. Karyawan dipertimbangkan sebagai anggota yang integral dari organisasi total.

Ouchi dalam tulisannya menjelaskan ada perbedaan budaya atau kultur antara bangsa Jepang dan Amerika yang menghalangi para manajer Amerika untuk dapat mengadopsi teknik-teknik Jepang secara menyeluruh hal ini disebabkan para pekerja Amerika suka pindah-pindah kerja, mereka terus berusaha mencari kesempatan, pekerjaan yang baik, dan kemajuan karier dengan berpindah perusahaan sebaliknya pekerja yang cenderung melakukan komitmen seumur hidup terhadap organisasi (perusahaan) yang dimasuki.

Walaupun demikian Ouchi juga melihat adanya kesamaan antara praktek-praktek di perusahaan terkemuka Amerika Serikat dan perilaku organisasi Jepang. Sebagai contoh, Hewlett-Packard dan IBM, kekaryaan jangka panjang merupakan norma, walaupun lebih pendek daripada komitmen seumur hidup.

Perusahaan tipe Amerika mempercayai pengambilan keputusan manajemen secara individual, sedangkan perusahaan-perusahaan tipe Jepang sangat mempercayai pengambilan keputusan secara konsensus, akan tetapi ada sejumlah perusahaan­perusahaan Amerika yang unggul juga proses pengambilan keputusannya “Kolaboratif” mendekati perilaku tipe Jepang.

Berdasarkan observasi yang dilakukan Ouchi adalah unsur yang paling dalam teori Z merupakan gabungan dari konsep hubungan manusiawi dengan teknik-teknik manajemen ilmiah. Perusahaan-perusahaan menurut tipe Z haruslah sangat tanggung jawab secara kolektif, melalui suatu komitmen terhadap pengambilan tulisan partisipatif. Organisasi ini juga memperhatikan kebutuhan individual dan kelompok, akan tetapi secara simultan terus mengembangkan teknik-teknik pengendalian mutu dan metode kerja ilmiah. Gaya manajemennya menggabungkan prinsi-prinsip klasik, ajaran perilaku serta, konsep hubungan manusiawi untuk menekan dan produktivitas.

Teori Z dapat memberi inspirasi kepada para ilmuan karena melihat secara lebih dalam tentang organisasi-organisasi tipe Jepang, dan organisasi tipe Amerika, dan bagaimana organisasi tipe Z dapat bekembang pada masa yang akan datang dan teori ini memperlihatkan besarnya pengaruh budaya terhadap manajemen Jepang dan manajemen Amerika dalam organisasi suatu perusahaan.

Bagaimana dengan manajemen Indonesia ? Profil manajer di Indonesia kurang memperhatikan kepentingan lingkungannya dan masih sangat mementingkan diri atau individunya. Sangatlah pesimis Indonesia dapat bangkit dengan perekonomiannya bila para manajer di Indonesia tidak rnengubah sikap dan sistem nilainya ke arah yang berorientasi sosial.

2.    Teori Ilmu manajemen yang telah dikembangkan oleh para ahli manajemen saat ini, walaupun dianggap lebih modern dan lebih sempurna dari teori konvensional, namun masih belum dapat menyelesaikan masalah dan problematika dalam dunia bisnis, terbukti dengan masih banya terjadi berbagai penyimpangan yang tidak sehat, pelanggaran nilai-nilai moral dan etika bisnis, berikanlah solusi tepat yang untuk mengatasi sistem manajemen dalam mengatasi masalah dalam dunia bisnis :

Ketika saya melakukan training-led consultancy di perusahaan-perusahaan bisnis dan industri Indonesia, para manajer sering mengajukan pertanyaan berikut : Pak Vincent, kami telah menerapkan banyak sistem manajemen kinerja, mulai dari ISO 9001:2000, MBNQA (Malcolm Baldrige Quality Program), Balanced Scorecard, Six Sigma, dan lain-lain, tetapi mengapa tidak memberikan hasil yang memuaskan?

Jawaban saya secara gamblang adalah, mungkin manajemen perusahaan melakukan program peningkatan kinerja secara acak (random performance improvement), secara parsial dan tidak terintegrasi dengan kebutuhan bisnis dan industri yang dirumuskan secara sistematik dalam suatu kerangka kerja Master Improvement Story.

Hal itu yang saya jumpai dalam banyak perusahaan di Indonesia. Banyak perusahaan di Indonesia belum melakukan program peningkatan kinerja secara sistematik (systematic performance improvement) menggunakan kerangka kerja Master Improvement Story. Memang benar bahwa dalam perusahaan di Indonesia terdapat puluhan program peningkatan kinerja (performance improvement programs), demikian pula mungkin ada puluhan tim peningkatan kualitas (quality improvement teams), tetapi mungkin dari puluhan program dan tim itu, tidak ada satu pun yang benar-benar berfokus pada peningkatan kinerja yang sesungguhnya bagi perusahaan yaitu : bottom line performance improvement, seperti peningkatan ROIC (Return On Invested Capital) atau ROCE (Return On Capital Employed), eliminasi pemborosan (waste) dan reduksi biaya terus-menerus, eliminasi atau reduksi cacat atau kesalahan terus-menerus, peningkatan pelayanan (service level) dan inovasi nilai kepada pelanggan secara terus-menerus, peningkatan semangat karyawan dan manajemen dalam meningkatkan kinerja perusahaan agar menjadi perusahaan kelas dunia, dan lain-lain.

Akar penyebab kegagalan implementasi sistem-sistem manajemen kinerja dalam perusahaan itu adalah karena pendekatan manajemen yang masih dilakukan secara acak dan parsial, tidak terintegrasi satu sama lain, sehingga tidak memberikan dampak positif pada bottom line perusahaan.

Penyebab Kegagalan Sistem Manajemen Kinerja
Menurut Balanced Scorecard Collaborative (www.bsccol. com), terdapat empat faktor penghambat dalam implementasi sistem manajemen kinerja terintegrasi, yaitu

Pertama, Hambatan Visi (Vision Barrier).
Tidak banyak orang dalam organisasi  yang memahami atau mengerti strategi dari organisasi mereka. Berdasarkan survei, hanya sekitar 5% dari karyawan yang memahami strategi perusahaan mereka.

Kedua, Hambatan Orang (People Barrier).
Banyak orang dalam organisasi memiliki tujuan yang tidak terkait dengan strategi organisasi. Berdasarkan survei, hanya sekitar 25% dari manajer yang memiliki insentif terkait dengan strategi perusahaan mereka.

Ketiga, Hambatan Sumber Daya (Resource Barrier).
Waktu, energi, dan uang tidak dialokasikan pada hal-hal yang penting (kritis) dalam organisasi. Sebagai misal, anggaran tidak dikaitkan dengan strategi bisnis, sehingga menghasilkan pemborosan sumber daya. Berdasarkan survei, sekitar 60% dari organisasi tidak mengaitkan anggaran kepada strategi perusahaan.

Keempat, Hambatan Manajemen (Management Barrier).
Manajemen menghabiskan terlalu sedikit waktu pada strategi organisasi dan terlalu banyak waktu pada pembuatan keputusan taktikal jangka pendek. Berdasarkan survei, sekitar 86% dari tim eksekutif menghabiskan waktu kurang dari satu jam per bulan untuk mendiskusikan strategi perusahaan mereka.

Di samping itu Master (1996) juga mengemukakan 15 faktor kegagalan
dalam implementasi sistem manajemen kualitas total (TQM), sebagai berikut
:

Pertama, ketiadaan komitmen dari manajemen puncak.
Kedua, ketiadaan pengetahuan atau kekurangpahaman tentang manajemen kualitas total.
Ketiga, ketidakmampuan mengubah kultur perusahaan.
Keempat, ketidaktepatan perencanaan kualitas.
Kelima, ketiadaan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan (terus-menerus).
Keenam, ketidakmampuan membangun suatu learning organization yang memberikan perbaikan terus-menerus.
Ketujuh, ketidakcocokan struktur organisasi serta departemen dan individu yang terisolasi.
Kedelapan, ketidakcukupan sumber daya.
Kesembilan, ketidaktepatan sistem penghargaan dan balas jasa bagi karyawan.
Kesepuluh, ketidaktepatan mengadopsi prinsip-prinsip manajemen kualitas total ke dalam organisasi.
Kesebelas, ketidakefektifan teknik-teknik pengukuran dan ketiadaan akses ke data dan hasil-hasil.
Keduabelas, berfokus jangka pendek dan menginginkan hasil yang cepat.
Ketigabelas, ketidaktepatan dalam memberikan perhatian pada pelanggan internal dan eksternal.
Keempatbelas, ketidakcocokan kondisi untuk implementasi manajemen kualitas.
Kelimabelas, ketidaktepatan menggunakan pemberdayaan (empowerment) dan kerja sama (teamwork).

Sebagai bahan pertimbangan kepada manajemen organisasi yang sedang menerapkan program-program Six Sigma atau Lean Six Sigma, berikut ini adalah faktor-faktor penyebab kegagalan dari implementasi program :
a. Lack of visible senior leader sponsorhip.
b. Lack of alignment to a clear organization strategy.
c. Lack of performance tracking and accountability.
d. Failure to link projects to bottom-line impact.
e. Insufficient or ineffective alocation of human resources.
d.  Over-emphasis on rigid approach and technical tools.

Swayne (2003) telah mengidentifikasi beberapa kegagalan implementasi
proyek Six Sigma yang terjadi dalam setiap tahap DMAIC, sebagai berikut :

Define:
a.  Definisi lingkup dan kebutuhan proyek yang tidak tepat dan tidak
terintegrasi dengan kebutuhan nyata dari bisnis.
b.  Kesalahan mengidentifikasi proyek yang tepat.
c.  Kesalahan dalam desain kuesioner (questionnaire) dan penerapan
statistika pada riset pelanggan.
d. Kesalahan dalam penetapan sasaran dan tujuan yang tepat.

Measure:
a.  Ketiadaan ukuran-ukuran kinerja kunci (KPIs) yang tepat.
b.  Memiliki alat-alat pengukuran yang jelek.
c.  Pengumpulan data yang tidak efisien dan tidak tepat.
d.  Kecepatan eksekusi yang lambat.

Analyze:
a. Kesalahan dalam mengembangkan hipotesis kausal (sebab-akibat).
b.  Kegagalan mengidentifikasi pengendali kunci (key drivers).
c.  Penggunaan alat-alat statistika yang terlalu berlebihan dan
seolah-olah hanya berfokus pada penerapan alat-alat statistika
tersebut tanpa mempedulikan efektivitas dan efisiensi dalam solusi
masalah-masalah bisnis yang nyata.
d. Ketiadaan pengetahuan bisnis praktis.
e. Kegagalan mengidentifikasi praktek-praktek bisnis terbaik.

Improve:
a.    Ketiadaan dukungan manajemen terhadap sistem.
b. Kegagalan dalam mengembangkan ide-ide untuk menghilangkan akar-akar
penyebab masalah bisnis.
c. Kegagalan dalam implementasi solusi-solusi masalah bisnis.

Control:
a.    Kegagalan dalam tindak-lanjut (follow-up) oleh manajer-manajer dan
pemilik proses, yaitu mereka yang bertanggung jawab terhadap kinerja
dari proses-proses bisnis.
b.    Ketiadaan mekanisme umpan-balik menerima atau mendengarkan suara
pelanggan (voice of customer) secara terus-menerus.
c.    Ketiadaan institusionalisasi dari pemikiran atau pemahaman terhadap
peningkatan kinerja bisnis terus-menerus.

3.             Kerjasama
a.    Manfaat langsung dari kerjasama regional dan internasional ditinjau dari ilmu manajemen :
1).   Menjalin Persahabatan Antar Negara.
Kondisi geografiiklim, tingkat penguasaan iptek dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.
3).   Memperoleh keuntungan dari spesialisasi. Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi adakalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri.
4).   Memperluas pasar dan menambah keuntungan. Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut keluar negeri.
5).   Transfer teknologi modern. Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efesien dan cara-cara manajemen yang lebih modern.

a.    Pengaruh ilmu manajemen terhadap manajer di setiap organisasi atau perusahaan : untuk kelancaran berjalannya suatu organisasi dan perusahaan. Ilmu Manajemen dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi dan juga tujuan individu yang ada dalam organisasi tersebut. Semua bentuk organisasi dimana orang-orang bekerja bersama mencapai tujuan yang telah ditetapkan, membutuhkan manajemen. Manajemen diperlukan organisasi agar usaha pencapaian tujuan menjadi lebih mudah. Ada empat tujuan manajemen dalam sebuah organisasi adalah sebagai berikut:

1).   Tujuan sosial, adalah agar organisasi atau perusahaan bertanggungjawab secara sosial dan etis terhadap keutuhan dan tantangan masyarakat dengan meminimalkan dampak negatifnya.
2).   Tujuan Organisasional, adalah sasaran formal yang dibuat untuk membantu organisasi mencapai tujuannya.
3)    Tujuan Fungsional, adalah tujuan untuk mempertahankan kontribusi pada tingkat yang sesuai  dengan kebutuhan organisasi
4)    Tujuan Individual, adalah tujuan pribadi dari tiap anggota organisasi atau perusahaan yang hendak mencapai melalui aktivitasnya dalam organisasi.

4.       Pengaruh Ilmu Manajemen
Permasalahan yang dihadapi manajer yang tidak memahami ilmu manajemen dengan baik: contoh masalah umum yang dihadapi manajer pemasaran, bersama dengan 5 solusi untuk mengatasi masalah yang mengganggu ini.
a. Tim yang kurang berpengalaman atau kekurangan tenaga. Seiring bidang pemasaran tumbuh dan menjadi lebih kompleks, maka akan berdampak akan semakin banyaknya informasi yang harus diketahui, lebih banyak yang harus dilakukan, dan lebih banyak lagi untuk dilacak. Meskipun awalnya mungkin dimulai dengan tim pemasaran yang sempurna, tetapi “lubang” bisa mulai muncul di tempat dimana tim pemasaran tidak memiliki pengetahuan atau kemampuan terkait hal tersebut. Hal ini akan mengakibatkan strategi pemasaran dan kinerja pemasaran yang buruk. Ada kemungkinan tim pemasaran mungkin perlu melihat beberapa perubahan sebelum hasil pemasaran diberikan.

Solusinya adalah perhatikan baik-baik tim pemasaran yang ada saat ini dan lihat perbaikan apa yang bisa dilakukan. Kurangnya pemahaman tentang praktik pemasaran merupakan indikasi adanya kebutuhan untuk bermitra dengan agen pemasaran atau meningkatkan kemampuan tim pemasaran internal.

b. Tren Pemasaran Baru. Seiring tren baru muncul di pasar, sulit bagi manajer pemasaran untuk terus memantau perubahan dan menerapkannya dalam strategi mereka sendiri. Memahami perubahan akan bermanfaat bagi mereka. Hal ini seperti mengikuti semua hal baru mengenai media sosial, desain web, antarmuka pengguna, dan banyak lagi. Dengan mengikuti dan beradaptasi dengan perubahan akan menghasilkan hasil yang sangat luar biasa.

Solusinya adalah divisi pemasaran melakukan penelitian dan pekerjaan terperinci yang terlibat dalam menentukan tren pemasaran baru yang harus diambil, serta bagaimana menerapkannya ke dalam pemasaran bisnis perusahaan. Cari tahu target pengguna mana yang sesuai dan target pengguna yang harus difokuskan.

b.        Penafsiran data laporan pemasaran. Beberapa manajer pemasaran memiliki kekurangan pengetahuan dalam menafsirkan data laporan pemasaran. Tanpa pengetahuan tersebut, mereka tidak dapat mengetahui strategi pemasaran mana yang harus dikejar. Hal ini dapat menurunkan ROI mereka karena mereka terus menggunakan terlalu banyak strategi, tidak mengetahui mana yang berkinerja terbaik, atau dapat secara drastis merusak kampanye mereka jika strategi tersebut tidak menggunakan strategi yang benar sepenuhnya.

Solusinya adalah dengan memanfaatkan perangkat lunak analitik, mereka dapat mengonfigurasi laporan dan memberikan saran kepada manajer tentang cara mengubah strategi pemasaran mereka untuk mendapatkan hasil terbaik.

d.    Kurangnya Komunikasi. Meskipun ada banyak hal yang terjadi, penting bahwa semua hasil dan kejadian harus dikomunikasikan ke anggota tim lainnya. Manajer pemasaran yang tidak memiliki sistem kerja untuk mengumpulkan, mengatur, menafsirkan, dan mengkomunikasikan data pemasaran mereka ke anggota tim lainnya akan berdampak buruh pada perusahaan. Selain itu, data yang dikumpulkan dengan buruk atau kurangnya data dapat menyebabkan komunikasi yang buruk dan tidak nyaman antara manajer pemasaran dan atasan mereka.

Solusinya adalah dengan melihat 3 area strategi pemasaran tertentu. Pertama, pertimbangkan bagaimana strategi pemasaran mengarahkan lalu lintas produk kita. Kedua, lihat seberapa baik strategi mengubah lalu lintas menjadi prospek, dan akhirnya, menganalisis seberapa efektif saluran penjualan Anda saat mengubah prospek menjadi pelanggan dan menghasilkan pendapatan penjualan.

e.    Menutup Sales Loop. Menempatkan usaha tanpa melihat hasilnya bisa menjadi salah satu hal yang paling mengecilkan hati yang akan dialami tim pemasaran. Jadi, apa yang terjadi bila strategi pemasarannya menghasilkan prospek berkualitas dan menghasilkan traffic yang sangat banyak, namun tampaknya perusahaan masih belum mendapatkan klien atau pelanggan baru? Inilah saatnya untuk melihat bagaimana perusahaan menutup lingkaran penjualan itu. Berikut adalah dua area yang mungkin menjadi masalah dimana saja.
1).   Kendali Pemimpin yang tidak terhubung dengan tim penjualan
Bisa jadi tim pemasaran dan tim penjualannya tidak sinkron. Tim penjualan mungkin tidak memiliki akses ke prospek yang dibuat tim pemasaran, atau mereka mungkin tidak memiliki pemahaman tentang cara terbaik mendekati prospek yang mereka dapatkan.
2).   Penanganan yang tidak kuat. Mungkin saja tidak ada sistem yang ada untuk mendekati pelanggan potensial, atau sistem yang tim penjualan miliki untuk menghubungi dan mendorong prospek tidak berjalan dengan baik.

Solusinya adalah lakukan penyelidikan mengenai kemungkinan yang dapat dilakukan untuk membantu manajer mengetahui dengan meningkatkan lebih banyak komunikasi antara tim, mencari saran untuk mencapai prospek, atau merestrukturisasi keseluruhan strategi penjualan. Ini akan membantu Anda menutup lingkaran penjualan dan menikmati peningkatan pendapatan yang telah dijalani.

5.      Dinamika industri 4.0
a.    Penyebab perubahan pola konsumen dalam berbelanja
Pergeseran transaksi perdagangan dari konvensional menjadi digital kian marak dalam beberapa tahun terakhir. Tingginya pertumbuhan e-commerce di Indonesia turut mengubah pola perilaku berbelanja masyarakat.
Perusahaan ritel kini mulai mentransformasikan bisnisnya, yang sebelumnya puas mengandalkan toko fisik, kini terpaksa ikut mengembangkan bisnisnya dengan transaksi digital dan online.

Terjadi penutupan Hero seperti Giant Express Pondok Timur; Giant Express Cinere Mall; Giant Express Mampang; Giant Extra Jatimakmur; Giant Extra Mitra 10 Cibubur; dan Giant Extra Wisma Asri. Adapun sepanjang 2018, HERO telah menutup 26 gerai. Di Asosiasi Pedagang Ritel Indonesia (Aprindo) sudah 95% anggotanya bertransformasi dari bisnis utama toko fisik menjadi e-commerce atau online. Aprindo mengklaim saat ini memiliki sekitar 600 anggota yang mempunyai 40.000 toko fisik di seluruh Indonesia. “Masih sekitar 5% lagi yang belum mengubah bisnisnya. Alasannya, karena memang mereka ini adalah pemain lokal dan mereka masih cukup yakin dengan bisnis offline saat ini.

Dengan transformasi ini tak heran jika banyak dari toko ritel di beberapa pusat perbelanjaan yang ditutup pemiliknya. Masuknya Revolusi Industri 4.0 memang telah mengubah budaya belanja masyarakat Indonesia.  Jika dahulu berbelanja di mal merupakan hiburan sekaligus mengisi waktu luang dengan keluarga, tapi sekarang kaum milenial lebih memilih berbelanja dari ponsel pintarnya.

Kepala Kantor Universitas Gadjah Mada (UGM) Kampus Jakarta Yahya Agung Kuntadi mengatakan, nilai transaksi bisnis e-commerce di Indonesia semakin besar diestimasi Rp75 triliun (2016), Rp85 triliun (2017), dan Rp100 triliun (2018).
Namun sebaliknya, pada nilai transaksi bisnis ritel konvensional di mal, plaza, dan pusat perbelanjaan mengalami penurunan. Sebagaimana di Amerika Serikat dan Eropa yang telah terjadi penutupan banyak brick and mortar stores, maka gelombang tersebut hanya tinggal menunggu waktu akan tiba di Indonesia.

Tidak bisa dibantah lagi bahwa sudah terjadi perubahan pola belanja di masyarakat Indonesia bahkan dunia yang semakin mengandalkan e-commerce. Generasi milenial akan menjadi kunci pendorong perubahan pola belanja itu. Pada 2018, generasi milenial kelompok usia 15-34 tahun berbasis data BPS diestimasikan sebanyak 84 juta orang. Mereka sudah terbiasa berbelanja online untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya.

Namun, menurut mereka, ada kabar bahwa karyawan akan diberi dua opsi, yaitu mengajukan pensiun dini atau mengikuti tes untuk pindah ke gerai lain milik perseroan. Serikat pekerja, kata mereka, akan segera melakukan pertemuan guna membahas masa depan para karyawan tersebut.

Hingga 30 September 2018, HERO memilliki 448 gerai. Masing-masing terdiri dari 59 Giant Ekstra, 96 Giant Ekspres, 31 Hero Supermarket, 3 Giant Mart, 258 Guardian Health & Beauty, dan satu toko IKEA.HERO bukan ritel pertama yang menutup sejumlah gerainya. Pada pertengahan 2017, ada 7-Eleven dan Ramayana. Lalu diikuti dengan penutupan dua gerai Lotus pada Oktober 2018.
b.   Strategi untuk mengatasi eksistensi UKM di Indonesia
Agar tidak ketinggalan dengan perkembangan zaman, Aprindo mempersiapkan model bisnis untuk mengembangkan artificial intelligence (AI) dan big data. Karena big data sangat berdampak mendongkrak apa yang dilakukan toko ritel saat ini. Pelaku ritel bisa mempelajari customer behaviour dan bisa memenuhi kebutuhan apa yang diinginkan konsumen. Banyak pendekatan untuk mengembangkan big data oleh para pemain ritel. Sekarang banyak program bisa dikembangkan misalnya, seperti loyalty program, rewards program, dan menggandeng financial technology (fintech), yang memang banyak kerja sama dengan ritel saat ini dan itu semua akan berujung pada big data. Data customer diperluas, baik secara demografinya, populasinya, umurnya, kebiasaannya, dan lainnya. Inilah yang akan menjadi the future retail atau the future commerce,”

Salah satunya perlu dikembangkan adalah profesi pengamat perilaku konsumen. Profesi ini wajib ada pada setiap perusahaan bisnis ritel guna menangkap selera, tren, preferensi, pengalaman, dan keinginan para konsumen generasi milenial terhadap berbagai produk ritel di pasar. Penggunaan teknologi informasi termasuk berbagai platform medsos serta observasi lapang di titik-titik kumpul komunitas dapat merekam dinamika tingkah laku generasi milenial di berbagai kota, kemudian dianalisis dan disintesakan untuk memperoleh benang merah hal-hal apa perlu ditawarkan industri ritel kepada mereka.

Strategi konvensional bisnis ritel dengan membangun toko menarik, display memikat, ajang heboh, atau promosi sensasional, tidak lagi bisa dilakukan tanpa memadukan strategi membaca dan memahami perilaku konsumen generasi milenial. Komunikasi interaktif dengan konsumen menjadi kunci industri ritel di zaman now agar bisa terus bertumbuh. Karena dapat memahami apa yang sebenarnya dibutuhkan pasar saat ini dan mendatang, bukan pasar kemarin atau dahulu. Komunikasi interaktif harus dilakukan sejajar dalam arti biarlah antargenerasi milenial yang bicara. Para pemimpin perusahaan ritel yang umumnya datang dari generasi pramilenial, sebaiknya memberi kepercayaan dan peran lebih besar bagi generasi milenial untuk memegang tanggung jawab strategis serta penting dalam bisnis ritel dengan tetap diberi supervisi sewajarnya.

Ritel konvensional juga harus berkolaborasi, misalnya produk di Bukalapak bisa jadi dipasok oleh suplier ritel konvensional tertentu. Memang saat ini transformasi bisnis ritel akan ke arah mana belum begitu nampak, tetapi dari kecenderungan perubahan pola perilaku konsumen yang menjadi lebih suka hal praktis, maka kecenderungan belanja lewat e-commerce akan terus menguat.

Strateginya, HERO perlu mengubah dan menyegarkan kembali penawaran untuk pelanggannya. Sampai 31 Mei 2019, HERO memiliki 125 gerai Giant. Artinya pada 28 Juli 2019 jika tidak ada penambahan gerai lainnya, total gerai Giant bakal berkurang menjadi 119 gerai. Penutupan gerai tentu memberikan juga dampak bagi karyawan yang bekerja di enam gerai tersebut.

Program multi-years transformation yang menjadi fokus HERO diantaranya adalah melibatkan penataan ulang ruang usaha, meningkatkan kualitas, skala dan kesegaran di seluruh toko, dan menyesuiakan general merchandise untuk memberikan nilai lebih ke pelanggan.
Sebagai catatan di tahun 2018, pendapatan HERO memang turun tipis dari Rp 13,03 triliun di tahun 2017 menjadi Rp 12,97 triliun. Rugi perusahaan di tahun itu juga meningkat dari Rp 249,32 di 2017 miliar menjadi Rp 1,25 triliun di 2018. Adapun sampai kuartal I 2019 pendapatan HERO naik tipis dari Rp 3,04 triliun di kuartal I 2018 menjadi Rp 3,06 triliun. Sementara rugi tahun berjalan turun dari Rp 4,13 miliar menjadi Rp 3,52 miliar. HERO sendiri memiliki beberapa merek gerai yakni Hero, Giant, Guardian dan Ikea.

6.       Peranan ilmu manajemen bagi perusahaan yang masih eksis.
Ilmu manajemen, khususnya manajemen strategi dapat memberikan kepastian mengenai keputusan hari ini untuk memposisikan diri untuk kesuksesan pada masa mendatang melalui analisis, keputusan, dan aksi yang dilakukan perusahaan untuk menciptakan dan mempertahankan keunggulan kompetitif.

Manajemen strategis adalah seni dan ilmu penyusunan, penerapan, dan pengevaluasian keputusan - keputusan, manajemen strategis berfokus pada proses penetapan tujuan organisasi, pengembangan kebijakan dan perencanaan untuk mencapai sasaran, serta mengalokasikan sumber daya untuk menerapkan kebijakan dan merencanakan pencapaian tujuan organisasi. Manajemen strategis mengkombinasikan aktivitas-aktivitas dari berbagai bagian fungsional suatu bisnis untuk mencapai tujuan organisasi. Inti dari manajemen strategis adalah mengidentifikasi tujuan organisasi, sumber dayanya, dan bagaimana sumber daya yang ada tersebut dapat digunakan secara paling efektif untuk memenuhi tujuan strategis.

Ada tiga tahapan dalam manajemen strategis, yaitu : perumusan strategi, pelaksanaan strategi, dan evaluasi strategi.

Beberapa pakar dalam ilmu manajemen mendefinisikan manajemen strategis dengan cara yang berbeda-beda. Ketchen (2009) perusahaan untuk menciptakan dan mempertahankan keunggulan kompetitif. Definisi ini menggambarkan dua elemen utama manajemen strategis.

Pertama, manajemen strategis dalam sebuah perusahaan berkaitan dengan proses yang berjalan (ongoing processes): analisis, keputusan, dan tindakan. Manajemen strategis berkaitan dengan bagaimana manajemen menganalisis sasaran strategis (visimisi, tujuan) serta kondisi internal dan eksternal yang dihadapi perusahaan. Selanjutnya, perusahaan harus menciptakan keputusan strategis. Keputusan ini harus mampu menjawab dua pertanyaan utama: (1) industri apa yang digeluti perusahaan dan (2) bagaimana perusahaan harus bersaing di industri tersebut. Terakhir, tindakan diambil untuk menjalankan keputusan tersebut. Tindakan yang perlu dilakukan akan mendorong manajer untuk mengalokasikan sumber daya dan merancang organisasi untuk mengubah rencana menjadi kenyataan.
Kedua, manajemen strategis adalah studi tentang mengapa sebuah perusahaan mampu mengalahkan perusahaan lainnya. Manajer perlu menentukan bagaimana perusahaan bisa menciptakan keunggulan kompetitif yang tidak hanya unik dan berharga, tetapi juga sulit ditiru atau dicari subtitusinya sehingga mampu bertahan lama. Keunggulan kompetitif yang mampu bertahan lama biasanya didapatkan dengan melakukan aktivitas berbeda dengan apa yang dilakukan pesaing, atau melakukan aktivitas yang sama dengan cara yang berbeda.
Porter (1996) mendefinisikan strategi sebagai "penciptaan posisi unik dan berharga yang didapatkan dengan melakukan serangkaian aktivitas.". Porter menjabarkan tiga basis posisi strategis. Ketiganya tidak mutually exclusive dan seringkali saling bersinggungan.
Basis pertama didapatkan dengan memproduksi bagian kecil (subset) sebuah produk dari industri tertentu. Porter menyebutnya sebagai variety-based positioning karena posisi ini berasal dari pemilihan produk, bukan berdasarkan segmentasi konsumen. Dengan kata lain, perusahaan berusaha memenuhi sedikit kebutuhan dari banyak orang. Porter menyontohkan Jiff Lube International yang hanya memproduksi pelicin (lubricant) otomotif dan tidak menawarkan produk perawatan lainnya. Variety-based positioning efektif bila perusahaan memiliki kemampuan menciptakan produk subset tersebut dengan baik, jauh lebih unggul dibanding pesaingnya.

Basis kedua adalah melayani sebagian besar atau bahkan seluruh kebutuhan dari seke konsumen tertentu, yang disebut sebagai needs-based positioning. Contohnya adalah IKEA yang berusaha memenuhi seluruh kebutuhan mebel, bukan hanya sebagian (subset), untuk target pasarnya. Posisi ini didapatkan dengan melakukan serangkaian aktivitas dengan cara berbeda dengan yang dilakukan pesaing. Apabila tidak ada perbedaan dalam aktivitas, konsumen tidak akan mampu membedakan perusahaan bersangkutan dengan pesaing. Varian dari model ini adalah memenuhi kebutuhan target pasar untuk waktu yang berbeda-beda. Seorang konsumen, misalnya, memilki kebutuhan yang berbeda ketika ia melakukan perjalanan untuk bisnis dan ketika dia melakukan perjalanan untuk liburan. Perusahaan bisa mengambil posisi untuk memenuhi kebutuhan yang berbeda-beda dari target pasar yang sama.

Basis ketiga didapatkan dengan menarget konsumen yang dapat diakses dalam cara yang berbeda, yang disebut sebagai access-based positioning. Konsumen-konsumen ini, meskipun memiliki kebutuhan dan keinginan yang hampir sama dengan konsumen lainnya, membutuhkan konfigurasi aktivitas yang berbeda untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan tersebut. Porter mencontohkannya lewat Carmike Cinemas, yang mengoperasikan bioskop hanya di kota-kota kecil yang padat, namun dengan populasi kurang dari 200.000 orang. Meskipun pasarnya kecil dengan kemampuan pembeliannya di bawah kota besar, Carmike Cinemas berhasil meraih keuntungan karena melakukan aktivitas berbeda dengan yang ditawarkan bioskop-bioskop di kota besar, misalnya dengan melakukan standardisasi, membuka hanya sedikit studio, dan menggunakan teknologi proyektor yang lebih rendah dibanding dengan bioskop di kota besar.

Pembentukan strategi adalah kombinasi dari tiga proses utama sebagai berikut :
a.     Melakukan analisis situasi, evaluasi diri dan analisis pesaing: baik internal maupun eksternal; baik lingkungan mikro maupun makro. Bersamaan dengan penaksiran tersebut, tujuan dirumuskan. Tujuan ini harus bersifat paralel dalam rentang jangka pendek dan juga jangka panjang. Maka di sini juga termasuk di dalamnya penyusunan pernyataan visi (cara pandang jauh ke depan dari masa depan yang dimungkinkan), pernyataan misi (bagaimana peran organisasi terhadap lingkungan publik), tujuan perusahaan secara umum (baik finansial maupun strategis), tujuan unit bisnis strategis (baik finansial maupun strategis), dan tujuan taktis.
b.     Pemantauan lingkungan harus mencakup baik internal dan komponen eksternal. Sementara sebagian besar organisasi merasa nyaman dengan pemindaian lingkungan internal, mereka masih memiliki lebih banyak kesulitan dengan bagian eksternal. Organisasi yang hanya melihat ke dalam masih kehilangan setengah dari persamaan utuh untuk membuat keputusan yang lebih efektif bagi perusahaan. Beberapa elemen yang biasa digunakan untuk memeriksa kondisi eksternal meliputi industri sebagai suatu keseluruhan (termasuk tren yang berdampak pada industri), dan tren sosial dalam empat bidang utama: ekonomi, teknologi, tren politik-hukum, serta sosial-budaya.

Komponen terakhir dari manajemen strategis adalah evaluasi dan pemantauan kemajuan perusahaan ke arah sasaran strategisnya. Organisasi-organisasi yang meyakini bahwa proses terbilang selesai setelah rencana diimplementasikan hanya akan menemukan diri mereka menemui kegagalan. Penting sekali bagi organisasi untuk terus memantau kemajuannya.

Ada tiga tingkatan strategi dibuat dalam organisasi yang lebih besar, yakni meliputi strategi perusahaan, bisnis, dan fungsional (atau operasional).
Strategi perusahaan akan menentukan bisnis apakah yang perusahaan akan benar-benar beroperasi di sana ?
Strategi bisnis akan menentukan bagaimana perusahaan akan bersaing di masing-masing bisnis yang telah dipilih ?
Strategi tingkat operasional akan menentukan bagaimana masing-masing bidang fungsional (seperti sumber daya manusia atau akuntansi) benar-benar akan mendukung strategi-strategi bisnis dan korporasi ?.
Semua strategi ini harus berkaitan erat untuk memastikan bahwa organisasi bergerak ke arah yang menyatu.

7.       Peranan Pemimpin, manajer dan organisasi dalam menghadapi VUCA
VUCA adalah singkatan dari Volatile, Uncertain, Complexity and Ambiguity. Istilah VUCA pertama kali digunakan dalam dunia militer pada era sembilan puluhan untuk menggambarkan situasi medan tempur yang dihadapi oleh pasukan operasional dimana informasi medan yang ada amat terbatas. Bertempur dalam keterbatasan informasi serasa berjalan dalam kebutaan dan bisa menimbulkan chaos. Keadaan ini diistilahkan sebagai medan perang kabut (fog war).

Dalam menghadapi era tidak pasti (VUCA), sebagai pemimpin kita harus percaya diri dan terus mencari jalan untuk tidak terdisrupsi. Kita juga harus bisa membawa energi dan kepercayaan kepada tim di organisasi kita. Dalam buku yang berjudul “Leadership Agility” karangan Bill Joiner dan Stephen Josephs, menjelaskan model kepemimpinan tervalidasi untuk melakukan hal itu. Penelitian menunjukkan bahwa hanya sekitar 10% manajer yang menguasai tingkat kelincahan yang diperlukan (agility) untuk bisa bekerja efektif secara konsisten dan mampu bertahan menghadapi dunia bisnis yang bergejolak seperti saat ini.

Penelitian menunjukkan bahwa saat ini terdapat tiga tingkat kelincahan dalam kepemimpinan yang dimiliki oleh organisasi secara umum: Expert (45% of leaders),  Achiever (35% of leaders), dan Catalyst (10% of leaders).

Masih berdasarkan hasil penelitian, tingkat Expert bekerja secara taktis, orientasi mereka adalah memecahkan masalah. Mereka percaya bahwa pemimpin dihormati dan diikuti oleh orang lain karena otoritas dan keahlian yang dimilikinya. Untuk tingkat Achiever, mereka berorientasi pada strategi dan hasil. Mereka percaya bahwa pemimpin perlu memberi tantangan kepada karyawan sehingga termotivasi dan memastikan mereka puas sehingga mau berkontribusi pada tujuan yang lebih besar. Dan terakhir tingkat Catalyst, pemimpin katalis adalah orang yang visioner.  Orientasi mereka adalah membangun kekuatan, mengartikulasikan visi yang inovatif dan inspiratif serta membawa orang-orang tepat ke dalam tim untuk mewujudkannya. Mereka memberdayakan orang lain dan secara aktif memfasilitasi perkembangan mereka.

Pemimpin katalis bekerja secara konsisten dengan menggunakan empat jenis kompetensi agility.
a.    Context-setting Agility  yaitu kemampuan untuk mengenali lingkungan, mengantisipasi apa saja yang mungkin berubah, dan membingkai konteksnya dengan cara yang menarik sehingga ikut mempengaruhi orang lain. Ini adalah kemampuan untuk melihat koneksi yang dimiliki di luar batas inisiatif, perusahaan, atau bahkan industri. Ini memungkinkan seseorang melihat dampak jangka panjang dan berpikir visioner.
b.    Stakeholder Agility adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, mencari, dan melibatkan para pemangku kepentingan utama. Ini adalah kapasitas untuk memahami dan berempati dengan pandangan para pemangku kepentingan, tidak hanya untuk mendapatkan dukungan tetapi juga menghormati pandangan mereka untuk kemudian mengambil keputusan yang lebih baik.
c.    Creative Agility adalah kemampuan untuk mengeksplorasi masalah menggunakan berbagai sudut pandang. Pemimpin Katalis selalu terlibat dalam paradoks  jangka pendek vs jangka panjang, praktis vs idealistik untuk bisa menghasilkan solusi unik.
d.    Self-Leadership Agility adalah kemampuan untuk mengembangkan kesadaran diri dan memimpin diri sendiri dengan membayangkan pemimpin seperti apa yang mereka inginkan. Mereka berupaya menyelaraskan perilaku mereka dengan nilai-nilai dan menggunakan pertumbuhan personal untuk mendorong perkembangan profesional.

Untuk beralih dari Expert menjadi seorang Achiever, dan akhirnya menjadi seorang Catalyst, seorang pemimpin harus meningkat agility atau kelincahan di empat bidang kompetensi di atas. Seperti yang dikatakan oleh Bill Joiner sebagaimana dikutip SHIFT Indonesia dari Forbes, “Laju perubahan dan tingkat interdependensi dalam lingkungan bisnis global saat ini menuntut agar tingkat manajemen paling atas dapat berperan sebagai katalis. Organisasi perlu membantu banyak manajer senior mereka yang berprestasi untuk tumbuh ke tingkat Katalis dan manajer Expert mereka untuk menjadi Achiever.” Sumber : Forbes/hennainam.

Dalam situasi VUCA para leader dituntut untuk memiliki kejelasan visi jangka panjang namun fleksibel dan adaptif dengan durasi tempo respon yang pendek. Value dan outcome menjadi pegangan untuk decision making. Visi jangka panjang tetap dipegang menjadi pemandu oleh leader. Namun pendekatan adaptif dan agile menjadi pendekatan di lapangan.

Dr. Shobikhul Qisom menyampaikan ada 3 strategi yang perlu dilakukan untuk bertahan di era VUCA dan dimasa organisasi mengalami siklus turnaround. Siklus dimana kurva pengembangan organisasi mengalami titik yang berpeluang untuk naik ke atas dan turun ke bawah. 3 Strategi tersebut diantaranya adalah:

a. Leadership. Pada strategi ini organisasi perlu mengkondisikan semua SDM yang ada untuk fokus pada pekerjaan dan tupoksi masing-masing. Kemudian meng-ajeg-kan kembali semua pekerjaan sesuai SOP (Standard Operation Procedure). Meningkatkan kualitas dan pengalaman teknis di tiap departemen serta melakukan perubahan dan inovasi secara bertahap dan berlaku adil terhadap semua karyawan sebagai seorang pimpinan.

b. Product Differentiation. Strategi yang kedua yaitu membuat produk/layanan yang berbeda dengan kompetitor. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat menerapkan strategi ini yaitu:

1). Produk atau layanan yang kita buat harus unik (distinguishing feature), mempunyai fitur-fitur yang berbeda dan tidak dimiliki oleh lembaga lain. Contoh: penentuan jaminan mutu lulusan kita wajib berbeda dengan sekolah lain.
2). Produk atau layanan kita mempunyai daya tahan uji yang baik (reliability). Layanan yang kita buat juga harus teruji di khalayak umum. Teruji dari dampaknya, bertahan lama dan tentunya punyai nilai kebermanfaatan yang berumur panjang dimata masyarakat (walimurid kita)
3). Produk atau layanan kita harus juga mempunyai penampilan yang meyakinkan (performance). Contoh: profil sekolah yang berupa video, harus dibuat secara serius dan tidak terkesan ‘apa adanya’, bila perlu bekerjasama dengan para ahli dibidang sinematografi atau pakar desain grafis.
4). Produk atau layanan yang kita buat harus berkualitas, bukan hanya sekedar pemanis di brosur atau media promosi kita. Saat memasang Quality Assurance berupa lulusan sekolah mempunyai hafalan minimal 3 juz, lembaga harus benar-benar serius untuk menyiapkan programnya, memantau dan mengevaluasi program tersebut mulai dari siswanya pertama kali masuk kelas sampai ia di kelas akhir.
c.  Low cost. Strategi yang terakhir untuk menghadapi era VUCA dan siklus turnaround, organisasi atau sekolah harus tetap mengedepankan efisiensi dan efektifitas penggunaan anggaran. Penggunaan anggaran yang berlebihan dan seringkali keluar dari rapat kerja yang sudah dilakukan di awal tahun akan sangat berdampak pada strategi ini. Pemilihan program saat rapat kerja disusun pun harus mempunyai semangat efisiensi dan efektif.

Dr. Shobikh menyampaikan apa-apa yang harus dilakukan untuk mengimplementasikan 3 strategi ini yaitu:
a.    Membiasakan dan merutinkan kembali siklus PDCA (Plan-Do-Check-Action)
b.    Menjalankan SOP masing-masing departemen sesuai dengan jobdesc
c.    Memiliki mindset perbaikan terus-menerus (continuous improvement)
d.   Menjadikan mutu sebagai budaya

8.        Keempat pilar perubahan dalam meningkatkan daya saing bangsa.
Keempat pilar tersebut adalah sumber daya manusia (SDM), teknologi, industri dan inovasi.

Peningkatan kompetensi SDM industri untuk memasuki era revolusi industri 4.0, dimana Kementerian Perindustrian telah meluncurkan program pendidikan vokasi yang link and match antara Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan industri di beberapa wilayah di Indonesia yang dimulai pada Februari 2017. Sebanyak 609 industri dan 1.753 SMK yang terlibat. Program penciptaan tenaga kerja yang sesuai kebutuhan industri ini akan terus digulirkan lagi pelaksanannya. Memang hasilnya tidak langsung jadi, butuh waktu dua sampai tiga tahun ke depan.

Penumbuhan wirausaha rintisan baru (startup) di sektor industri kreatif. Upaya ini sejalan dengan kesiapan untuk mengambil peluang adanya momentum bonus demografi yang akan dinikmati Indonesia pada tahun 2030 nanti, karena industri kreatif di dalam negeri mampu memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian. Industri kreatif di Indonesia mencatatkan kontribusi yang terus meningkat terhadap produk domestik bruto (PDB) dalam tiga tahun terakhir. Pada tahun 2015, sektor ini menyumbang sebesar Rp. 852 triliun, sedangkan pada 2016 mencapai Rp. 923 triliun, dan bertambah menjadi Rp. 990 triliun di tahun 2017. Tahun 2018 diproyeksi tembus hingga Rp1.000 triliun.

Guna mendorong transformasi sosial budaya pada masyarakat Indonesia tersebut, salah satu faktor yang memengaruhi adalah teknologi.  Dalam penerapan industri 4.0, Indonesia akan didukung dengan lima teknologi utama yang menjadi ciri khas di era digital, yaitu : konektivitas dan kemampuan komputasi, kemampuan analitik dan intelegensi mesin, ketersambungan manusia dengan mesin (human-machine interface), teknologi robotik tingkat lanjut, serta metode manufaktur melalui cetak tiga dimensi (3D Printing).

Industri manufakur berperan penting mendongkrak perekonomian negara karena membawa efek berganda yang positif. Misalnya, peningkatan pada nilai tambah baku dalam negeri, penyerapan tenaga kerja, dan penerimaan devisa dari eskpor. “Tidak ada satu negara maju di dunia yang tanpa melalui proses industrialisasi. Beberapa waktu lalu, dalam sebuah conference dengan UNIDO, Indonesia menjadi inspirator untuk mengimplementasikan industri 4.0 di negara-negara berkembang Asia Pasifik. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), industri pengolahan masih konsisten memberikan kontribusi tertinggi dalam struktur produk domestik bruto (PDB) nasional, dengan porsi mencapai 19,66 persen pada triwulan III tahun 2018. Indonesia masuk dalam jajaran 9 negara di dunia yang industrinya memberikan kontribusi besar bagi ekonomi.

Penumbuhan inovasi dalam hal kualitas dan intensitas kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) di berbagai lini yang dapat menumbuhkan inovasi dalam upaya pengembangan industri manufaktur nasional. Peran lembaga litbang yang ada di seluruh Indonesia dapat menjadi penyokong utama terbentuknya ekosistem inovasi yang melahirkan riset-riset berkualitas dan memberi manfaat bagi kemajuan sektor industri.

a.    Escaping From Midlle Income Economic Trap. Innovation Driven Economy.
Perangkap pendapatan menengah (bahasa Inggrismiddle income trap) adalah suatu keadaan ketika suatu negara berhasil mencapai tingkat pendapatan menengah, tetapi tidak dapat keluar dari tingkatan tersebut untuk menjadi negara maju. Negara yang masuk ke dalam perangkap pendapatan menengah akan kehilangan keunggulan kompetitif mereka dalam mengekspor barang-barang jadi karena gaji pekerja di negara tersebut meningkat. Pada saat yang sama, negara ini tidak mampu bersaing secara ekonomi dengan negara-negara maju di pasar dengan nilai tambah yang tinggi. Akibatnya, negara-negara yang baru saja terindustrialisasi (seperti Afrika Selatan dan Brasil) belum keluar dari kelompok pendapatan menengah selama beberapa dasawarsa karena produk nasional bruto per kapita mereka tersangkut dalam kisaran $1.000 hingga $12.000. Negara-negara ini menghadapi masalah berupa investasi yang rendah, pertumbuhan industri sekunder yang lambat, diversifikasi industri yang kurang dan kondisi lapangan kerja yang buruk. Untuk menghindari perangkap pendapatan menengah, dibutuhkan strategi-strategi untuk memperkenalkan proses-proses baru dan mencari pasar baru untuk mempertahankan pertumbuhan ekspor. Peningkatan permintaan domestik juga merupakan strategi yang penting - kelas menengah yang semakin membesar dapat menggunakan daya belinya untuk membeli produk-produk inovatif dengan kualitas tinggi dan membantu mendorong pertumbuhan.

Tantangan terbesar adalah untuk beralih dari pertumbuhan yang didorong oleh sumber daya alam dan bergantung pada tenaga kerja yang biaya yang murah menjadi pertumbuhan yang didasarkan pada produktivitas tinggi dan inovasi. Untuk mewujudkan hal ini, dibutuhkan investasi dalam bidang infrastruktur dan pendidikan berkualitas tinggi yang mendorong kreativitas dan terobosan dalam bidang sains dan teknologi.

Middle-income countries need to embrace a strategy focused on capability to advance innovation, move up the value chain, and create decent jobs.
We analyze the reasons for the middle-income trap in Latin America, where countries have been at the middle-income level for decades, and draw out lessons for Asia. The middle-income trap captures a situation where a middle-income country can no longer compete internationally in standardized, labor-intensive goods because wages are relatively too high, but it also cannot compete in higher value-added activities on a broad enough scale because productivity is relatively too low. The result is slow growth, stagnant or falling wages, and a growing informal economy.
Insufficient development of domestic innovation capabilities is at the heart of the middle-income trap. In Latin America, it is the result of a market-led strategy which generated dismal productivity growth, rapid de-industrialization, a decline in export sophistication in many countries, poor innovation performance, and underinvestment in the requisite social capabilities. Globalization provides a challenging context for middle-income countries to narrow the capabilities gap because they have less time to do so with more players competing in the innovation space and with technological innovation changing faster. A comprehensive innovation-focused strategy with strategic active policies is the only way to escape the middle-income trap. The nature of the production structure, already existing elements of an innovation ecosystem, and the possibilities for creating political coalitions in support of a systemic advancement of innovation capabilities are critical factors conditioning the escape from the middle-income trap.

b.   Improving Competitiveness Index. Boosting Innovation.
What is Global Competitiveness Index (GCI) GCI is defined by the World Economic Forum. It is a set of institutions, policies, and factors that. determine the level of productivity of a country, conditions of public institutions and technical.

Indonesia’s economic competitiveness has stepped up, according to the recently released Global Competitiveness Report by the World Economic Forum (WEF). Under the newly introduced Global Competitiveness Index 4.0, Indonesia has a score of 64.9 points and is ranked at 45th, up two places compared to the previous index. Neighboring countries Singapore, Malaysia and Thailand, however, place higher in second place (83.5 points), 25th (74.4 points) and 38th (67.5 points), respectively.

The report notes that Indonesia benefits from its sheer size and its interconnectedness, which combined with a vibrant entrepreneurial culture and overall business dynamism is said to “bode well for the future”. However, the country lacks innovation capability, particularly in research and development activities. Indonesia’s R&D spending is less than 0.1 percent of GDP, ranking at 112nd among 140 countries in the index.

Countries with the highest spending for R&D are Israel (4.3 percent of GDP), South Korea (4.2 percent), Japan, Sweden (3.3 percent) and Taiwan (3.2 percent). Another concern is infrastructure. Among G20 economies, Indonesia is the worst performer in terms of physical infrastructure with 66.8 points, or almost 25 points behind Japan as the best performer (91.5 points).

The Global Competitiveness Report is an annual study by the WEF, assessing both microeconomic and macroeconomic foundations, comprising 98 indicators.
The 2018 report methodology includes several relatively novel factors such as idea generation, entrepreneurial culture, openness and agility.

c.    Fulfilling People Expectation (Role of University). Agent Of Economic Development.
Traditionally, universities are seen as places of learning and research. For many years these autonomous institutions could be perceived as ‘ivory towers’, slightly removed from the responsibilities of society, with researchers and lecturers working towards the greater good and the pursuit of knowledge and learning for the sake of knowing.

Over the last few years, many studies in the UK have acknowledged that higher education institutions are worth far more to their regions and nationally contribute almost £45 billion to the economy, providing direct employment for over 600,000 people. So, in this modern age, what are society’s needs and expectations of higher education needs? How are universities shifting to address them? How can we balance society’s needs with the autonomy of higher education institutions? When making such a large contribution to the regional and national economy how can we deliver to our stakeholder communities?

Professor Purcell addresses these questions, using her role as Vice-Chancellor at the University of Plymouth to provide a regional context and providing key examples from her institution that is carving out its niche as the enterprise university.

This section considers the key roles played by our universities and explores some of the emerging issues that are facing the sector. So, let's start with a difficult question...

What is the purpose of higher education?

Over the 800 years of the modern university, there have been competing narratives about what the institution is designed to achieve. Each of these has a strong contemporary resonance, and universities today generally reflect a balance – whether explicit or implicit – between the various strands.

In summary, universities have been seen as:
1.    Communities dedicated to the learning and personal development of their members, especially students (this could be termed the 'liberal' theory);
2.    Sources of expertise and vocational identity (the 'professional formation' theory);
3.    Creators, testers, and sites for the evaluation and application of new knowledge (the 'research engine' theory, with an important corollary – the 'business and industry services' theory);
4.    Important contributors to society and nations (the 'civic and community engagement' theory).

 

What do you consider to be the main functions of a university?

Points you might have identified include: the role of universities as repositories and generators of knowledge, the obligation to equip graduates so that they can obtain viable employment, the obligation to offer rational and timely criticism in areas of public policy and social and economic life, the presence of universities as large and influential bodies in civil society and the state and the longer term role of graduates in creating cohesive and tolerant communities.

d.   Improving University Compettiveness. Increasing International Publication.
One way to increase university competitiveness is through information system management. A literature review was done to find information system factors that affect university performance in Quacquarelli Symonds (QS) University Ranking: Asia evaluation. Information system factors were then eliminated using Delphi method through consensus of 7 experts. Result from Delphi method was used as measured variables in PLS-SEM. Estimation with PLS-SEM method through 72 respondents shows that the latent variable academic reputation and citation per paper have significant correlation to university competitiveness.

In University of Indonesia (UI) the priority to increase university competitiveness as follow:
(i)       network building in international conference,
(ii)     availability of research data to public,
(iii)   international conference information,
(iv)   information on achievements and accreditations of each major,
(v)     ease of employment for alumni.

Referensi:
Balanced Scorecard . Customer Service Excellence . Customer Relationship Management . 5S/6S, Kaizen Blitz, Lean, Six Sigma . Lean Six Sigma for Manufacturing and Service . Lean Six Sigma SCOR (Supply Chain Operations Reference)
Integration of Blue Ocean Strategy and Design for Lean Six Sigma. Implementation of Integrated Performance Management System in World Class Manufacturing and Service Companies.
Master, R. J., Overcoming the Barriers to TQM's Success., Quality Progress, May 1996., pp.53-55., American Society for Quality.,
Milwaukee, Wisconsin, 1996.
Swayne, B., Where Has All the Magic Gone?., Six Sigma Forum Magazine, Pp. 22-27., ASQ Quality Press, Milwaukee, Wisconsin, May 2003.
Vincent Gaspersz (Gramedia, 2007-Sedang dalam proses penerbitan). Organizational Excellence: Model Strategik Menuju World Class Enterprise Management. Memperkenalkan Cara-Cara Implementasi Teknik
Manajemen Kelas Dunia.
Wendy Purcell, University of Plymouth, United Kingdom,  Balancing The Needs And Expectations Of Society With The Autonomy Of Higher Education Institutions.

http://shiftindonesia.com/kepemimpinan-di-era-vuca, diakses tgl 23 November 2019, jam 21:02
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Manajemen_strategis, diakses tgl 23 November 2019, jam 21:30.
https://id.wikipedia.org/wiki/Perangkap_pendapatan_menengah, diakses tgl 23 November 2019, jam 21:50.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SILSILAH MENURUT ORANG SUNDA

PANCAKAKI  Oleh  :  Agus Prana Mulia  (Budayawan Bogor) Pancakaki  bagi orang Sunda sepertiku sangatlah penting. Karena sebagai salah satu  upaya merekatkan kekerabatan diantara anggota keluarga. Sayang mayoritas generasi muda Sunda - termasuk bangsa Indonesia -  sekarang sudah banyak yang meninggalkan, akibatnya terjadi kehilangan obor alias tidak tahu silsilah keluarga. Saudara menjadi orang lain, orang lain menjadi saudara yang dalam pepatah sundanya :  dulur jadi batur, batur jadi dulur. padahal jelek-jelek juga adalah saudara, buruk-buruk papan jati. Penelusuran garis keturunan ( sakeseler ) dalam khazanah kesundaan diistilahkan dengan  pancakaki . Dalam Kamus Umum Basa Sunda (1993), pancakaki diartikan dengan dua pengertian.  1. Pancakaki menunjukkan hubungan seseorang dalam garis keluarga (perenahna jelema ka jelema deui anu sakulawarga atawa kaasup baraya keneh). Kita pasti mengenal istilah kekerabatan, seperti...

KSPPS BMT Binaul Ummah Kota Bogor, 2019

KIPRAH KOPERASI SIMPAN PINJAM PEMBIAYAAN SYARIAH  BMT BINAUL UMMAH PAMOYANAN BOGOR Oleh : Agus Prana Mulia (Pendiri KSPPS BMT Binaul Ummah) Logo Sebelum RAT 2019 Direktur

DO'A

D O ' A Oleh : Agus Pranamulia Pendiri Leuit Rasaning Rasa  Bogor “ Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (QS. Al-Baqoroh : 186). “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan K u perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. (QS. Al-Mu’minun : 60).   Ad-du’au mukhul ibadah. “Do’a itu sumsum atau inti ibadah” (HR. Tirmidzi). 1.          Pendahuluan .  Do’a adalah permohonan kepada Sang Khalik, Allah SWT. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam berdo’a, yaitu keyakinan yang tinggi ( keyakinan ) dan mengerti makna doa itu sendiri ( bahasa ) s...