ILMU MANAJEMEN
LANJUTAN
oleh : Agus Pranamulia
1. Perbedaan Budaya, Perilaku dan Tradisi sangat berpengaruh dalam sistem Manajemen Global. Berikan contoh perbandingan sistem manajemen Amerika dan Jepang ditinjau dari beberapa aspek. Gaya
Manajemen
Tabel Perbandingan
sistem manajemen Jepang dan Amerika
Komponen
|
Jepang
|
Amerika
|
Mitos
atas Hero
|
Kelompok
|
Individu
|
Sikap
|
ketergantungan
|
Independensi
|
Tekanan
|
Kewajiban
|
Hak
|
Gaya
|
Kerjasama
|
Kompetisi
|
Asumsi
|
Interdependensi
|
Independensi
|
Anggapan
terhadap diri sendiri
|
Manusia Organisasi
|
Individual Skill
|
Sikap
Kultural
|
Unik, adopter, pangsa pasar, pasaran dunia, mutu, nilai,
pelanggan
|
Setara, Profitabilitas, sukses finansial, pasaran
nasional, produk, balas jasa
|
Identitas
Karyawan
|
Perusahaan
|
Ketrampilan, Fungsi
|
Manajemen
|
Generalis
|
Spesialis
|
Percaya
dengan
|
Perasaan
|
Pikiran
|
Hubungan
Pemerintah – Bisnis
|
Kerjasama
|
Pemisahan
|
Stakeholder
Inti
|
Karyawan
|
Pemegang Saham
|
Jepang
merupakan negara homogen dengan budaya kerja yang di atas rata-rata penduduk
dunia (workaholic). Dan mereka
bekerja dengan penuh totalitas. Shokunin, adalah kata dalam bahasa jepang yang
berarti menguasai satu bidang profesi, merupakan filosofi masyarakat Jepang
dalam bekerja.
Orang
jepang cenderung berbangga hati dengan pekerjaan mereka dan berprinsip bahwa
proses kerja yang baik menentukan hasil yang baik pula. Sementara Ikigai adalah
tipe ideal hidup yang dicita-citakan setiap orang Jepang sebagai bentuk
keseimbangan antara kehidupan personal, passion,
profesi dan manfaat sosial bagi sesama. Namun budaya kerja ini sering kali
menimbulkan ‘karoshi’ atau kematian akibat kelelahan dalam bekerja.
Budaya
organisasi Jepang adalah melalui pendekatan personal. Sebagai masyarakat yang
ekspresif, Jepang cenderung lebih suka menggunakan simbol sebagai bentuk sopan
dalam berkomunikasi. Ini terbukti dengan budaya mereka yang menggunakan Kanji.
Serta simbol-simbol emoticon. Kritik dalam organisasi disampaikan secara halus
dan secara tidak langsung. Berbeda dengan budaya organisasi Amerika yang
cenderung terbuka dan tactful (blak-blakan).
William Ouchi,
memperkenalkan teori Z pada tahun 1981 untuk mengambarkan adaptasi Amerika atas
perilaku organisasi Jepang. Adapun teori Z didasarkan pada perbandingan
manajemen dalam organisasi Jepang disebut tipe perusahaan Jepang dengan
manajemen dalam perusahaan Amerika yang disebut tipe Amerika. Berikut adalah perbedaan organisasi
tipe Amerika dan tipe Jepang.
Para karyawan selalu bekerja
berpindah-pindah (short term employment). Bagi oang Amerika untuk
mencari kesempatan, kemajuan dan perubahan karir dengan cara berpindah-pindah diantara
majikan dan organisasi merupakan hal yang biasa.
Dalam pengambilan keputusan selalu
bersifat pribadi (individual decision making). Umumnya orang Amerika
cenderung mempercayai pertimbangan indiviual dan lebih suka membuat keputusan
sendiri. Mempunyai tanggungjawab individu (Individual responsibility). Para
pekerja Amerika lebih suka berinisiatif secara pribadi dan memikul
tanggungjawabnya sebagai individu dan bukan kelompok.
Kemajuan yang cepat (Rapid
evaluation and promotion). Keberhasilan para keryawan diukur dengan cepat
dimana para karyawan secara ekonomi dan sosial mendapatkan kemajuan yang cepat,
dengan suatu kelebihan.
Spesialisasi dalam karir (specialized
career paths). Pada organisasi di Amerika didasarkan pada spesialisasi
ketrampilan dan tenaga kerja; karyawan menciptakan intensitas dalam perilaku
karir dan mengukir jalur karir.
Mekanisme pengendalian yang
eksplisit (exsplicit control mechanism). Oraganisasi Amerika memiliki
standar dan pengendalian yang eksplisit dalam pekerjaan dan penilaian sehingga
para karyawan menginginkan mekanisme pengendalian yang ekplisit serta
petunjuk-petunjuk kerja.
Perhentian yang terpusat pada
karyawan (focus consern for employees). Perusahaan-perusahaan Amerika
cenderung hanya memandang peran karyawan pada pekerjaan mereka dan, memberikan
sedikit perhatian secara menyeluruh seperti keluarga, masalah-masalah sosial,
kesehatan pribadi dan kesejahteraan umum.Kalau kita melihat hasil observasi dan
penelitian para pakar mereka memenuhi type para pekerja Jepang yang berbeda
dengan type Amerika. Adapun Manajemen Tipe Jepang.
Bekerja seumur hidup (lifetime
employment). Pekerjaan Jepang cenderung melakukan komitment seumur hidup
terhadap organisasi mereka, sehingga organisasi memikul tanggung jawab untuk
mempekerjakan karyawan seumur hidup.
Pengambilan keputusan secara
kolektif (collective decision making). Karyawan dan manajer mencari
konsensus keputusan dan mendorong proses pengambilan keputusan secaro kolektif.
Tanggung jawab kelompok (collective
responsibility). Masyarakat Jepang lebih suka memproses dan menerima
tanggung jawab secara kelompok melalui komunikasi bersama, ganjaran kelompok
adalah umum.
Kemajuan yang sistematis secara
perlahan (evulution and promotion). Karyawan maju dengan perlahan
melalui tingkatan yang telah ditentukan, dimana promosi, loyalitas dan prilaku
yang harmonis dipertimbangkan.
Perspektif karier umum (non
Specialized career paths). Organisasi Jepang tidak menekankan spesialisasi,
akan tetapi lebih menyukai eksibilitas dan pelatihan internal, sehingga mereka
dapat menugaskan kembali personel dan mengembangkan keterampilan di antara
mereka sebagai anggotanggota organisasi. Karir dihubungkan dengan organisasi,
bukanlah profesi.
Sistem pengendalian yang implisit (implicit
control mechanism). Bangsa Jepang selalu menekankan pengendalian mutu
(Quality Control) dan metode pengendalian proses, dimana pada kegiatan
operasional standar-standar dan kriteria pekerja merupakan tujuan utama dan
pengendalian secara implisit sangat tergantung pada keputusan yang terjadi di
lapangan.
Perhatian holistik terhadap pekerja
(Wholistic concern for people). Organisasi Jepang sangat memperhatikan
para pekerja hingga di luar lingkungan pekerja dan membantu pekerja secara
menyeluruh dalam berbagai bidang yaitu perumahan, pelayanan untuk kesehatan
mental dan fisik, dan sebagainya. Karyawan dipertimbangkan sebagai anggota yang
integral dari organisasi total.
Ouchi dalam tulisannya menjelaskan
ada perbedaan budaya atau kultur antara bangsa Jepang dan Amerika yang
menghalangi para manajer Amerika untuk dapat mengadopsi teknik-teknik Jepang
secara menyeluruh hal ini disebabkan para pekerja Amerika suka pindah-pindah
kerja, mereka terus berusaha mencari kesempatan, pekerjaan yang baik, dan
kemajuan karier dengan berpindah perusahaan sebaliknya pekerja yang cenderung
melakukan komitmen seumur hidup terhadap organisasi (perusahaan) yang dimasuki.
Walaupun demikian Ouchi juga melihat
adanya kesamaan antara praktek-praktek di perusahaan terkemuka Amerika Serikat
dan perilaku organisasi Jepang. Sebagai contoh, Hewlett-Packard dan IBM,
kekaryaan jangka panjang merupakan norma, walaupun lebih pendek daripada
komitmen seumur hidup.
Perusahaan tipe Amerika mempercayai
pengambilan keputusan manajemen secara individual, sedangkan
perusahaan-perusahaan tipe Jepang sangat mempercayai pengambilan keputusan
secara konsensus, akan tetapi ada sejumlah perusahaanperusahaan Amerika yang
unggul juga proses pengambilan keputusannya “Kolaboratif” mendekati perilaku
tipe Jepang.
Berdasarkan observasi yang dilakukan
Ouchi adalah unsur yang paling dalam teori Z merupakan gabungan dari konsep
hubungan manusiawi dengan teknik-teknik manajemen ilmiah. Perusahaan-perusahaan
menurut tipe Z haruslah sangat tanggung jawab secara kolektif, melalui suatu
komitmen terhadap pengambilan tulisan partisipatif. Organisasi ini juga
memperhatikan kebutuhan individual dan kelompok, akan tetapi secara simultan
terus mengembangkan teknik-teknik pengendalian mutu dan metode kerja ilmiah.
Gaya manajemennya menggabungkan prinsi-prinsip klasik, ajaran perilaku serta,
konsep hubungan manusiawi untuk menekan dan produktivitas.
Teori Z dapat memberi inspirasi
kepada para ilmuan karena melihat secara lebih dalam tentang
organisasi-organisasi tipe Jepang, dan organisasi tipe Amerika, dan bagaimana
organisasi tipe Z dapat bekembang pada masa yang akan datang dan teori ini
memperlihatkan besarnya pengaruh budaya terhadap manajemen Jepang dan manajemen
Amerika dalam organisasi suatu perusahaan.
Bagaimana dengan manajemen Indonesia ? Profil
manajer di Indonesia kurang memperhatikan kepentingan lingkungannya dan masih
sangat mementingkan diri atau individunya. Sangatlah pesimis Indonesia dapat
bangkit dengan perekonomiannya bila para manajer di Indonesia tidak rnengubah
sikap dan sistem nilainya ke arah yang berorientasi sosial.
2. Teori Ilmu manajemen yang telah dikembangkan oleh para ahli manajemen saat ini, walaupun dianggap lebih modern dan lebih sempurna dari teori konvensional, namun masih belum dapat menyelesaikan masalah dan problematika dalam dunia bisnis, terbukti dengan masih banya terjadi berbagai penyimpangan yang tidak sehat, pelanggaran nilai-nilai moral dan etika bisnis, berikanlah solusi tepat yang untuk
mengatasi sistem manajemen dalam mengatasi masalah dalam dunia bisnis :
Ketika saya
melakukan training-led consultancy di
perusahaan-perusahaan bisnis dan industri Indonesia, para manajer sering mengajukan pertanyaan berikut : Pak Vincent, kami telah menerapkan banyak sistem manajemen kinerja, mulai dari ISO 9001:2000, MBNQA (Malcolm Baldrige Quality Program),
Balanced Scorecard, Six Sigma, dan lain-lain, tetapi mengapa tidak memberikan hasil yang memuaskan?
Jawaban saya secara gamblang adalah, mungkin manajemen perusahaan melakukan program peningkatan kinerja secara acak (random performance improvement), secara parsial dan tidak terintegrasi dengan kebutuhan bisnis dan industri yang dirumuskan secara sistematik dalam suatu kerangka kerja Master Improvement Story.
Hal itu yang saya jumpai dalam banyak
perusahaan di Indonesia. Banyak perusahaan di Indonesia belum melakukan program
peningkatan kinerja secara sistematik (systematic performance improvement)
menggunakan kerangka kerja Master Improvement Story. Memang benar bahwa dalam perusahaan di Indonesia terdapat puluhan program peningkatan kinerja (performance improvement programs), demikian pula mungkin ada puluhan tim peningkatan kualitas (quality improvement teams), tetapi
mungkin dari puluhan program dan tim itu, tidak ada satu pun yang benar-benar berfokus pada peningkatan kinerja yang sesungguhnya bagi perusahaan yaitu : bottom line performance improvement, seperti peningkatan ROIC (Return On Invested Capital) atau ROCE (Return On Capital
Employed), eliminasi pemborosan (waste) dan reduksi biaya
terus-menerus, eliminasi atau reduksi cacat atau kesalahan terus-menerus, peningkatan pelayanan (service level) dan inovasi nilai kepada pelanggan secara terus-menerus, peningkatan semangat karyawan dan manajemen dalam meningkatkan kinerja perusahaan agar menjadi perusahaan kelas dunia, dan lain-lain.
Akar penyebab kegagalan implementasi sistem-sistem manajemen kinerja dalam perusahaan itu adalah karena pendekatan manajemen yang masih dilakukan secara acak dan parsial, tidak terintegrasi satu sama lain, sehingga tidak memberikan dampak positif pada bottom line perusahaan.
Penyebab Kegagalan Sistem Manajemen Kinerja
Menurut Balanced Scorecard Collaborative
(www.bsccol. com), terdapat empat faktor penghambat dalam implementasi sistem
manajemen kinerja terintegrasi, yaitu
Pertama, Hambatan Visi (Vision Barrier).
Tidak banyak orang dalam
organisasi yang memahami atau mengerti
strategi dari organisasi mereka. Berdasarkan survei, hanya sekitar 5% dari
karyawan yang memahami strategi perusahaan mereka.
Kedua, Hambatan Orang (People Barrier).
Banyak orang dalam organisasi memiliki tujuan yang tidak terkait
dengan strategi organisasi. Berdasarkan survei, hanya sekitar 25% dari manajer
yang memiliki insentif terkait dengan strategi perusahaan mereka.
Ketiga, Hambatan Sumber Daya (Resource Barrier).
Waktu,
energi, dan uang tidak dialokasikan pada hal-hal yang penting (kritis) dalam organisasi. Sebagai misal, anggaran tidak dikaitkan dengan strategi bisnis, sehingga menghasilkan pemborosan sumber daya. Berdasarkan survei, sekitar 60% dari organisasi tidak mengaitkan anggaran kepada strategi perusahaan.
Keempat, Hambatan Manajemen (Management Barrier).
Manajemen menghabiskan terlalu
sedikit waktu pada strategi organisasi dan terlalu banyak waktu pada pembuatan
keputusan taktikal jangka pendek. Berdasarkan survei, sekitar 86% dari tim eksekutif menghabiskan waktu kurang dari satu jam per bulan untuk mendiskusikan strategi perusahaan mereka.
Di samping itu Master (1996) juga mengemukakan 15 faktor kegagalan
dalam implementasi sistem manajemen kualitas total (TQM), sebagai berikut:
Pertama, ketiadaan komitmen dari manajemen puncak.
Kedua, ketiadaan
pengetahuan atau kekurangpahaman tentang manajemen kualitas total.
Ketiga, ketidakmampuan
mengubah kultur perusahaan.
Keempat, ketidaktepatan
perencanaan kualitas.
Kelima, ketiadaan
pendidikan dan pelatihan berkelanjutan (terus-menerus).
Keenam, ketidakmampuan
membangun suatu learning organization
yang memberikan perbaikan terus-menerus.
Ketujuh, ketidakcocokan
struktur organisasi serta departemen dan individu yang terisolasi.
Kedelapan, ketidakcukupan
sumber daya.
Kesembilan, ketidaktepatan
sistem penghargaan dan balas jasa bagi karyawan.
Kesepuluh, ketidaktepatan
mengadopsi prinsip-prinsip manajemen kualitas total ke dalam organisasi.
Kesebelas, ketidakefektifan
teknik-teknik pengukuran dan ketiadaan akses ke data dan hasil-hasil.
Keduabelas, berfokus
jangka pendek dan menginginkan hasil yang cepat.
Ketigabelas, ketidaktepatan
dalam memberikan perhatian pada pelanggan internal dan eksternal.
Keempatbelas, ketidakcocokan
kondisi untuk implementasi manajemen kualitas.
Kelimabelas, ketidaktepatan
menggunakan pemberdayaan (empowerment)
dan kerja sama (teamwork).
Sebagai bahan pertimbangan kepada manajemen organisasi yang sedang menerapkan program-program Six Sigma atau Lean Six Sigma, berikut ini adalah faktor-faktor penyebab kegagalan dari implementasi program :
a.
Lack of visible senior leader sponsorhip.
b.
Lack of alignment to a clear organization
strategy.
c.
Lack of performance tracking and
accountability.
d.
Failure to link projects to bottom-line
impact.
e.
Insufficient or ineffective alocation of
human resources.
d. Over-emphasis
on rigid approach and technical tools.
Swayne (2003) telah
mengidentifikasi beberapa kegagalan implementasi
proyek Six Sigma yang terjadi dalam setiap tahap DMAIC, sebagai berikut :
proyek Six Sigma yang terjadi dalam setiap tahap DMAIC, sebagai berikut :
Define:
a. Definisi lingkup dan kebutuhan proyek yang
tidak tepat dan tidak
terintegrasi dengan kebutuhan nyata dari bisnis.
terintegrasi dengan kebutuhan nyata dari bisnis.
b. Kesalahan mengidentifikasi proyek yang tepat.
c. Kesalahan dalam desain kuesioner (questionnaire) dan penerapan
statistika pada riset pelanggan.
statistika pada riset pelanggan.
d.
Kesalahan dalam penetapan sasaran dan
tujuan yang tepat.
Measure:
a. Ketiadaan ukuran-ukuran kinerja kunci (KPIs)
yang tepat.
b. Memiliki alat-alat pengukuran yang jelek.
c. Pengumpulan data yang tidak efisien dan tidak
tepat.
d. Kecepatan eksekusi yang lambat.
Analyze:
a.
Kesalahan dalam mengembangkan hipotesis
kausal (sebab-akibat).
b. Kegagalan mengidentifikasi pengendali kunci (key drivers).
c. Penggunaan alat-alat statistika yang terlalu
berlebihan dan
seolah-olah hanya berfokus pada penerapan alat-alat statistika
tersebut tanpa mempedulikan efektivitas dan efisiensi dalam solusi
masalah-masalah bisnis yang nyata.
seolah-olah hanya berfokus pada penerapan alat-alat statistika
tersebut tanpa mempedulikan efektivitas dan efisiensi dalam solusi
masalah-masalah bisnis yang nyata.
d.
Ketiadaan pengetahuan bisnis praktis.
e.
Kegagalan mengidentifikasi praktek-praktek
bisnis terbaik.
Improve:
a.
Ketiadaan dukungan manajemen terhadap sistem.
b.
Kegagalan dalam mengembangkan ide-ide
untuk menghilangkan akar-akar
penyebab masalah bisnis.
penyebab masalah bisnis.
c.
Kegagalan dalam implementasi
solusi-solusi masalah bisnis.
Control:
a.
Kegagalan dalam tindak-lanjut (follow-up) oleh manajer-manajer dan
pemilik proses, yaitu mereka yang bertanggung jawab terhadap kinerja
dari proses-proses bisnis.
pemilik proses, yaitu mereka yang bertanggung jawab terhadap kinerja
dari proses-proses bisnis.
b.
Ketiadaan mekanisme umpan-balik menerima atau mendengarkan suara
pelanggan (voice of customer) secara terus-menerus.
pelanggan (voice of customer) secara terus-menerus.
c.
Ketiadaan institusionalisasi dari pemikiran atau pemahaman
terhadap
peningkatan kinerja bisnis terus-menerus.
peningkatan kinerja bisnis terus-menerus.
3.
Kerjasama
a.
Manfaat langsung dari kerjasama regional dan internasional
ditinjau dari ilmu manajemen :
1). Menjalin
Persahabatan Antar Negara.
Kondisi geografi, iklim, tingkat
penguasaan iptek dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap
negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.
3). Memperoleh keuntungan dari spesialisasi. Sebab utama
kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang
diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat
memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara
lain, tapi adakalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang
tersebut dari luar negeri.
4). Memperluas pasar dan menambah keuntungan. Terkadang,
para pengusaha tidak
menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena mereka
khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk
mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan
mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut keluar
negeri.
5). Transfer teknologi modern. Perdagangan luar
negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih
efesien dan cara-cara manajemen yang lebih
modern.
a. Pengaruh ilmu manajemen terhadap
manajer di setiap organisasi atau perusahaan : untuk kelancaran berjalannya
suatu organisasi dan perusahaan. Ilmu Manajemen dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi
dan juga tujuan individu yang ada dalam organisasi tersebut. Semua bentuk
organisasi dimana orang-orang bekerja bersama mencapai tujuan yang telah
ditetapkan, membutuhkan manajemen. Manajemen diperlukan organisasi agar usaha
pencapaian tujuan menjadi lebih mudah. Ada empat tujuan manajemen dalam sebuah organisasi adalah sebagai berikut:
1). Tujuan sosial, adalah agar organisasi atau perusahaan bertanggungjawab secara sosial dan
etis terhadap keutuhan dan tantangan masyarakat dengan meminimalkan dampak
negatifnya.
2). Tujuan Organisasional, adalah sasaran
formal yang dibuat untuk membantu organisasi mencapai tujuannya.
3) Tujuan Fungsional, adalah tujuan
untuk mempertahankan kontribusi pada tingkat yang
sesuai dengan kebutuhan
organisasi
4) Tujuan Individual, adalah tujuan
pribadi dari tiap anggota organisasi atau perusahaan yang hendak mencapai
melalui aktivitasnya dalam organisasi.
4. Pengaruh
Ilmu Manajemen
Permasalahan yang dihadapi manajer
yang tidak memahami ilmu manajemen dengan baik: contoh masalah umum yang dihadapi manajer pemasaran, bersama
dengan 5 solusi untuk mengatasi masalah yang
mengganggu ini.
a. Tim yang kurang berpengalaman atau
kekurangan tenaga. Seiring bidang pemasaran tumbuh dan menjadi lebih kompleks, maka akan
berdampak akan semakin banyaknya informasi yang harus diketahui, lebih banyak yang
harus dilakukan, dan lebih banyak lagi untuk dilacak. Meskipun awalnya mungkin
dimulai dengan tim pemasaran yang sempurna, tetapi “lubang” bisa mulai muncul
di tempat dimana tim pemasaran tidak memiliki pengetahuan atau kemampuan
terkait hal tersebut. Hal ini akan mengakibatkan strategi pemasaran dan kinerja pemasaran yang buruk. Ada kemungkinan tim
pemasaran mungkin perlu melihat beberapa perubahan sebelum hasil pemasaran
diberikan.
Solusinya adalah perhatikan
baik-baik tim pemasaran yang ada saat ini dan lihat
perbaikan apa yang bisa dilakukan. Kurangnya pemahaman tentang
praktik pemasaran merupakan indikasi adanya kebutuhan untuk
bermitra dengan agen pemasaran atau meningkatkan kemampuan tim pemasaran
internal.
b. Tren Pemasaran Baru. Seiring tren
baru muncul di pasar, sulit bagi manajer pemasaran untuk terus memantau perubahan dan
menerapkannya dalam strategi mereka sendiri. Memahami perubahan akan
bermanfaat bagi mereka. Hal ini seperti mengikuti semua hal baru mengenai media
sosial, desain web, antarmuka pengguna, dan banyak lagi. Dengan mengikuti dan
beradaptasi dengan perubahan akan menghasilkan hasil yang sangat luar biasa.
Solusinya adalah
divisi pemasaran melakukan penelitian dan pekerjaan
terperinci yang terlibat dalam menentukan tren pemasaran baru yang harus
diambil, serta bagaimana menerapkannya ke dalam pemasaran bisnis
perusahaan. Cari tahu target pengguna mana yang
sesuai dan target pengguna yang harus difokuskan.
b.
Penafsiran data laporan pemasaran. Beberapa manajer pemasaran memiliki kekurangan pengetahuan dalam
menafsirkan data laporan pemasaran. Tanpa pengetahuan tersebut, mereka tidak
dapat mengetahui strategi pemasaran mana yang harus dikejar. Hal ini
dapat menurunkan ROI mereka karena mereka terus menggunakan terlalu banyak
strategi, tidak mengetahui mana yang berkinerja terbaik, atau dapat secara
drastis merusak kampanye mereka jika strategi tersebut tidak menggunakan
strategi yang benar sepenuhnya.
Solusinya adalah
dengan memanfaatkan perangkat lunak analitik, mereka
dapat mengonfigurasi laporan dan memberikan saran kepada manajer tentang cara mengubah strategi pemasaran mereka untuk mendapatkan hasil terbaik.
d.
Kurangnya Komunikasi. Meskipun ada banyak hal
yang terjadi, penting bahwa semua hasil dan kejadian harus dikomunikasikan ke
anggota tim lainnya. Manajer pemasaran yang tidak memiliki sistem kerja untuk mengumpulkan, mengatur,
menafsirkan, dan mengkomunikasikan data pemasaran mereka ke anggota tim lainnya
akan berdampak buruh pada perusahaan. Selain itu, data yang dikumpulkan dengan
buruk atau kurangnya data dapat menyebabkan komunikasi yang buruk dan tidak nyaman antara manajer
pemasaran dan atasan mereka.
Solusinya adalah
dengan melihat 3 area strategi pemasaran tertentu. Pertama,
pertimbangkan bagaimana strategi pemasaran mengarahkan lalu lintas produk kita. Kedua,
lihat seberapa baik strategi mengubah lalu lintas menjadi prospek, dan
akhirnya, menganalisis seberapa efektif saluran penjualan Anda saat mengubah
prospek menjadi pelanggan dan menghasilkan pendapatan penjualan.
e.
Menutup Sales Loop.
Menempatkan usaha tanpa melihat hasilnya bisa menjadi salah satu hal
yang paling mengecilkan hati yang akan dialami tim pemasaran. Jadi, apa yang terjadi bila strategi pemasarannya menghasilkan prospek berkualitas
dan menghasilkan traffic yang sangat banyak, namun tampaknya
perusahaan masih belum mendapatkan klien atau pelanggan baru? Inilah saatnya untuk melihat bagaimana
perusahaan menutup lingkaran penjualan itu. Berikut adalah dua area yang
mungkin menjadi masalah dimana saja.
1). Kendali Pemimpin yang tidak terhubung dengan
tim penjualan
Bisa jadi tim pemasaran dan tim penjualannya tidak sinkron. Tim penjualan mungkin tidak memiliki akses ke prospek yang dibuat tim pemasaran, atau mereka mungkin tidak memiliki pemahaman tentang cara terbaik mendekati prospek yang mereka dapatkan.
Bisa jadi tim pemasaran dan tim penjualannya tidak sinkron. Tim penjualan mungkin tidak memiliki akses ke prospek yang dibuat tim pemasaran, atau mereka mungkin tidak memiliki pemahaman tentang cara terbaik mendekati prospek yang mereka dapatkan.
2). Penanganan yang tidak kuat. Mungkin saja
tidak ada sistem yang ada untuk mendekati pelanggan potensial, atau sistem yang tim penjualan
miliki untuk menghubungi dan mendorong prospek tidak berjalan dengan baik.
Solusinya adalah lakukan
penyelidikan mengenai kemungkinan yang dapat dilakukan untuk membantu manajer mengetahui dengan
meningkatkan lebih banyak komunikasi antara tim, mencari
saran untuk mencapai prospek, atau merestrukturisasi
keseluruhan strategi penjualan.
Ini akan membantu Anda menutup lingkaran penjualan dan menikmati peningkatan
pendapatan yang telah dijalani.
5. Dinamika
industri 4.0
a.
Penyebab perubahan pola konsumen dalam berbelanja
Pergeseran
transaksi perdagangan dari konvensional menjadi digital kian marak dalam
beberapa tahun terakhir. Tingginya
pertumbuhan e-commerce di Indonesia turut mengubah pola perilaku berbelanja
masyarakat.
Perusahaan ritel kini mulai mentransformasikan bisnisnya,
yang sebelumnya puas mengandalkan toko fisik, kini terpaksa ikut mengembangkan
bisnisnya dengan transaksi digital dan online.
Terjadi penutupan Hero seperti Giant Express
Pondok Timur; Giant Express Cinere Mall; Giant Express Mampang; Giant Extra
Jatimakmur; Giant Extra Mitra 10 Cibubur; dan Giant Extra Wisma Asri. Adapun
sepanjang 2018, HERO telah menutup 26 gerai. Di Asosiasi
Pedagang Ritel Indonesia (Aprindo) sudah 95% anggotanya bertransformasi dari
bisnis utama toko fisik menjadi e-commerce
atau online. Aprindo mengklaim saat ini memiliki sekitar 600 anggota yang
mempunyai 40.000 toko fisik di seluruh Indonesia. “Masih sekitar 5% lagi yang
belum mengubah bisnisnya. Alasannya, karena memang mereka ini adalah pemain
lokal dan mereka masih cukup yakin dengan bisnis offline saat ini.
Dengan
transformasi ini tak heran jika banyak dari toko ritel di beberapa pusat
perbelanjaan yang ditutup pemiliknya. Masuknya Revolusi Industri 4.0 memang
telah mengubah budaya belanja masyarakat Indonesia. Jika dahulu berbelanja di mal merupakan
hiburan sekaligus mengisi waktu luang dengan keluarga, tapi sekarang kaum
milenial lebih memilih berbelanja dari ponsel pintarnya.
Kepala
Kantor Universitas Gadjah Mada (UGM) Kampus Jakarta Yahya Agung Kuntadi
mengatakan, nilai transaksi bisnis e-commerce
di Indonesia semakin besar diestimasi Rp75 triliun (2016), Rp85 triliun (2017),
dan Rp100 triliun (2018).
Namun sebaliknya, pada nilai transaksi bisnis ritel konvensional di mal, plaza, dan pusat perbelanjaan mengalami penurunan. Sebagaimana di Amerika Serikat dan Eropa yang telah terjadi penutupan banyak brick and mortar stores, maka gelombang tersebut hanya tinggal menunggu waktu akan tiba di Indonesia.
Namun sebaliknya, pada nilai transaksi bisnis ritel konvensional di mal, plaza, dan pusat perbelanjaan mengalami penurunan. Sebagaimana di Amerika Serikat dan Eropa yang telah terjadi penutupan banyak brick and mortar stores, maka gelombang tersebut hanya tinggal menunggu waktu akan tiba di Indonesia.
Tidak bisa dibantah lagi bahwa sudah terjadi perubahan pola belanja di masyarakat Indonesia bahkan dunia yang semakin mengandalkan e-commerce. Generasi milenial akan menjadi kunci pendorong perubahan pola belanja itu. Pada 2018, generasi milenial kelompok usia 15-34 tahun berbasis data BPS diestimasikan sebanyak 84 juta orang. Mereka sudah terbiasa berbelanja online untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya.
Namun, menurut
mereka, ada kabar bahwa karyawan akan diberi dua opsi, yaitu mengajukan pensiun
dini atau mengikuti tes untuk pindah ke gerai lain milik perseroan. Serikat
pekerja, kata mereka, akan segera melakukan pertemuan guna membahas masa depan
para karyawan tersebut.
Hingga 30 September 2018, HERO memilliki 448 gerai. Masing-masing terdiri dari 59
Giant Ekstra, 96 Giant Ekspres, 31 Hero Supermarket, 3 Giant Mart, 258 Guardian
Health & Beauty, dan satu toko IKEA.HERO bukan ritel pertama yang menutup
sejumlah gerainya. Pada pertengahan 2017, ada 7-Eleven dan Ramayana. Lalu
diikuti dengan penutupan dua gerai Lotus pada
Oktober 2018.
b.
Strategi
untuk mengatasi eksistensi UKM di Indonesia
Agar tidak ketinggalan dengan perkembangan zaman, Aprindo
mempersiapkan model bisnis untuk
mengembangkan artificial intelligence
(AI) dan big data. Karena big data sangat berdampak mendongkrak apa yang
dilakukan toko ritel saat ini. Pelaku ritel bisa mempelajari customer behaviour
dan bisa memenuhi kebutuhan apa yang diinginkan konsumen. Banyak pendekatan
untuk mengembangkan big data oleh para pemain ritel. Sekarang banyak program
bisa dikembangkan misalnya, seperti loyalty
program, rewards program, dan menggandeng financial technology (fintech), yang memang banyak kerja sama
dengan ritel saat ini dan itu semua akan berujung pada big data. Data customer
diperluas, baik secara demografinya, populasinya, umurnya, kebiasaannya, dan
lainnya. Inilah yang akan menjadi the
future retail atau the future commerce,”
Salah satunya perlu dikembangkan adalah profesi pengamat
perilaku konsumen. Profesi ini wajib ada pada setiap perusahaan bisnis ritel
guna menangkap selera, tren, preferensi, pengalaman, dan keinginan para
konsumen generasi milenial terhadap berbagai produk ritel di pasar. Penggunaan
teknologi informasi termasuk berbagai platform medsos serta observasi lapang di
titik-titik kumpul komunitas dapat merekam dinamika tingkah laku generasi
milenial di berbagai kota, kemudian dianalisis dan disintesakan untuk
memperoleh benang merah hal-hal apa perlu ditawarkan industri ritel kepada
mereka.
Strategi konvensional bisnis ritel dengan membangun toko menarik, display memikat, ajang heboh, atau promosi sensasional, tidak lagi bisa dilakukan tanpa memadukan strategi membaca dan memahami perilaku konsumen generasi milenial. Komunikasi interaktif dengan konsumen menjadi kunci industri ritel di zaman now agar bisa terus bertumbuh. Karena dapat memahami apa yang sebenarnya dibutuhkan pasar saat ini dan mendatang, bukan pasar kemarin atau dahulu. Komunikasi interaktif harus dilakukan sejajar dalam arti biarlah antargenerasi milenial yang bicara. Para pemimpin perusahaan ritel yang umumnya datang dari generasi pramilenial, sebaiknya memberi kepercayaan dan peran lebih besar bagi generasi milenial untuk memegang tanggung jawab strategis serta penting dalam bisnis ritel dengan tetap diberi supervisi sewajarnya.
Ritel konvensional juga harus berkolaborasi, misalnya produk di Bukalapak bisa jadi dipasok oleh suplier ritel konvensional tertentu. Memang saat ini transformasi bisnis ritel akan ke arah mana belum begitu nampak, tetapi dari kecenderungan perubahan pola perilaku konsumen yang menjadi lebih suka hal praktis, maka kecenderungan belanja lewat e-commerce akan terus menguat.
Strateginya, HERO
perlu mengubah dan menyegarkan kembali penawaran untuk pelanggannya. Sampai 31
Mei 2019, HERO memiliki 125 gerai Giant. Artinya pada 28 Juli 2019 jika tidak
ada penambahan gerai lainnya, total gerai Giant bakal berkurang menjadi 119
gerai. Penutupan gerai tentu memberikan juga dampak bagi karyawan yang bekerja
di enam gerai tersebut.
Program multi-years
transformation yang menjadi fokus HERO diantaranya adalah melibatkan
penataan ulang ruang usaha, meningkatkan kualitas, skala dan kesegaran di
seluruh toko, dan menyesuiakan general merchandise untuk memberikan nilai lebih
ke pelanggan.
Sebagai catatan di
tahun 2018, pendapatan HERO memang turun tipis dari Rp 13,03 triliun di tahun
2017 menjadi Rp 12,97 triliun. Rugi perusahaan di tahun itu juga meningkat dari
Rp 249,32 di 2017 miliar menjadi Rp 1,25 triliun di 2018. Adapun
sampai kuartal I 2019 pendapatan HERO naik tipis dari Rp 3,04 triliun di
kuartal I 2018 menjadi Rp 3,06 triliun. Sementara rugi tahun berjalan turun
dari Rp 4,13 miliar menjadi Rp 3,52 miliar. HERO sendiri memiliki beberapa
merek gerai yakni Hero, Giant, Guardian dan Ikea.
6. Peranan
ilmu manajemen bagi perusahaan yang masih eksis.
Ilmu manajemen, khususnya manajemen strategi
dapat memberikan kepastian mengenai keputusan hari ini untuk
memposisikan diri untuk kesuksesan pada masa mendatang melalui analisis, keputusan, dan aksi yang dilakukan perusahaan
untuk menciptakan dan mempertahankan keunggulan kompetitif.
Manajemen
strategis adalah seni dan ilmu penyusunan,
penerapan, dan pengevaluasian keputusan - keputusan, manajemen strategis
berfokus pada proses penetapan tujuan organisasi, pengembangan kebijakan dan perencanaan untuk mencapai sasaran,
serta mengalokasikan sumber daya untuk menerapkan
kebijakan dan merencanakan pencapaian tujuan organisasi. Manajemen strategis
mengkombinasikan aktivitas-aktivitas dari berbagai bagian fungsional suatu
bisnis untuk mencapai tujuan organisasi. Inti dari
manajemen strategis adalah mengidentifikasi tujuan organisasi, sumber dayanya,
dan bagaimana sumber daya yang ada tersebut dapat digunakan secara paling
efektif untuk memenuhi tujuan strategis.
Ada
tiga tahapan dalam manajemen strategis, yaitu : perumusan strategi, pelaksanaan
strategi, dan evaluasi strategi.
Beberapa pakar dalam ilmu manajemen mendefinisikan manajemen strategis
dengan cara yang berbeda-beda. Ketchen (2009) perusahaan
untuk menciptakan dan mempertahankan keunggulan kompetitif. Definisi
ini menggambarkan dua elemen utama manajemen strategis.
Pertama, manajemen strategis dalam sebuah
perusahaan berkaitan dengan proses yang berjalan (ongoing processes):
analisis, keputusan, dan tindakan. Manajemen strategis berkaitan dengan
bagaimana manajemen menganalisis sasaran strategis (visi, misi, tujuan) serta kondisi internal dan eksternal yang dihadapi
perusahaan. Selanjutnya, perusahaan harus menciptakan keputusan strategis.
Keputusan ini harus mampu menjawab dua pertanyaan utama: (1) industri apa yang
digeluti perusahaan dan (2) bagaimana perusahaan harus bersaing di industri
tersebut. Terakhir, tindakan diambil untuk menjalankan keputusan tersebut.
Tindakan yang perlu dilakukan akan mendorong manajer untuk mengalokasikan
sumber daya dan merancang organisasi untuk mengubah rencana menjadi kenyataan.
Kedua,
manajemen strategis adalah studi tentang mengapa sebuah perusahaan mampu
mengalahkan perusahaan lainnya. Manajer
perlu menentukan bagaimana perusahaan bisa menciptakan keunggulan kompetitif
yang tidak hanya unik dan berharga, tetapi juga sulit ditiru atau dicari
subtitusinya sehingga mampu bertahan lama. Keunggulan kompetitif yang mampu
bertahan lama biasanya didapatkan dengan melakukan aktivitas berbeda dengan apa
yang dilakukan pesaing, atau melakukan aktivitas yang sama dengan cara yang
berbeda.
Porter
(1996) mendefinisikan strategi sebagai "penciptaan posisi unik dan
berharga yang didapatkan dengan melakukan serangkaian aktivitas.". Porter
menjabarkan tiga basis posisi strategis. Ketiganya tidak mutually exclusive dan seringkali saling
bersinggungan.
Basis pertama didapatkan dengan memproduksi
bagian kecil (subset) sebuah produk dari industri tertentu.
Porter menyebutnya sebagai variety-based positioning karena
posisi ini berasal dari pemilihan produk, bukan berdasarkan segmentasi konsumen. Dengan kata lain, perusahaan berusaha
memenuhi sedikit kebutuhan dari banyak orang. Porter menyontohkan Jiff Lube International yang hanya
memproduksi pelicin (lubricant) otomotif dan tidak
menawarkan produk perawatan lainnya. Variety-based positioning efektif
bila perusahaan memiliki kemampuan menciptakan produk subset tersebut dengan baik, jauh lebih
unggul dibanding pesaingnya.
Basis kedua
adalah melayani sebagian besar atau bahkan seluruh kebutuhan dari seke konsumen
tertentu, yang disebut sebagai needs-based positioning. Contohnya adalah IKEA yang berusaha memenuhi
seluruh kebutuhan mebel, bukan hanya sebagian
(subset), untuk target pasarnya. Posisi
ini didapatkan dengan melakukan serangkaian aktivitas dengan cara berbeda
dengan yang dilakukan pesaing. Apabila tidak ada perbedaan dalam aktivitas,
konsumen tidak akan mampu membedakan perusahaan bersangkutan dengan pesaing.
Varian dari model ini adalah memenuhi kebutuhan target pasar untuk waktu yang
berbeda-beda. Seorang konsumen, misalnya, memilki kebutuhan yang berbeda ketika
ia melakukan perjalanan untuk bisnis dan ketika dia melakukan perjalanan untuk
liburan. Perusahaan bisa mengambil posisi untuk memenuhi kebutuhan yang
berbeda-beda dari target pasar yang sama.
Basis ketiga
didapatkan dengan menarget konsumen yang dapat diakses dalam cara yang berbeda,
yang disebut sebagai access-based positioning. Konsumen-konsumen ini, meskipun memiliki kebutuhan dan
keinginan yang hampir sama dengan konsumen lainnya, membutuhkan konfigurasi
aktivitas yang berbeda untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan tersebut. Porter
mencontohkannya lewat Carmike Cinemas, yang mengoperasikan bioskop hanya di kota-kota kecil yang padat, namun
dengan populasi kurang dari 200.000 orang. Meskipun pasarnya kecil dengan
kemampuan pembeliannya di bawah kota besar, Carmike Cinemas berhasil meraih
keuntungan karena melakukan aktivitas berbeda dengan yang ditawarkan
bioskop-bioskop di kota besar, misalnya dengan melakukan standardisasi, membuka
hanya sedikit studio, dan menggunakan teknologi proyektor yang lebih rendah dibanding dengan
bioskop di kota besar.
Pembentukan strategi adalah kombinasi dari tiga proses utama sebagai
berikut :
a.
Melakukan analisis
situasi, evaluasi diri dan analisis pesaing: baik internal maupun eksternal; baik
lingkungan mikro maupun makro. Bersamaan dengan penaksiran tersebut, tujuan
dirumuskan. Tujuan ini harus bersifat paralel dalam rentang jangka pendek dan
juga jangka panjang. Maka di sini juga termasuk di dalamnya penyusunan
pernyataan visi (cara pandang jauh ke depan dari masa depan yang dimungkinkan),
pernyataan misi (bagaimana peran organisasi terhadap lingkungan publik), tujuan
perusahaan secara umum (baik finansial maupun strategis), tujuan unit bisnis
strategis (baik finansial maupun strategis), dan tujuan taktis.
b.
Pemantauan lingkungan harus mencakup baik internal dan komponen eksternal.
Sementara sebagian besar organisasi merasa nyaman dengan pemindaian lingkungan
internal, mereka masih memiliki lebih banyak kesulitan dengan bagian eksternal.
Organisasi yang hanya melihat ke dalam masih kehilangan setengah dari persamaan
utuh untuk membuat keputusan yang lebih efektif bagi perusahaan. Beberapa
elemen yang biasa digunakan untuk memeriksa kondisi eksternal meliputi industri
sebagai suatu keseluruhan (termasuk tren yang berdampak pada industri), dan
tren sosial dalam empat bidang utama: ekonomi, teknologi, tren politik-hukum,
serta sosial-budaya.
Komponen terakhir dari manajemen
strategis adalah evaluasi dan pemantauan
kemajuan perusahaan ke arah sasaran strategisnya. Organisasi-organisasi
yang meyakini bahwa proses terbilang selesai setelah rencana diimplementasikan
hanya akan menemukan diri mereka menemui kegagalan. Penting sekali bagi
organisasi untuk terus memantau kemajuannya.
Ada tiga tingkatan strategi dibuat dalam
organisasi yang lebih besar, yakni meliputi strategi perusahaan, bisnis, dan
fungsional (atau operasional).
Strategi perusahaan akan menentukan
bisnis apakah yang perusahaan akan benar-benar beroperasi di sana ?
Strategi bisnis akan menentukan
bagaimana perusahaan akan bersaing di masing-masing bisnis yang telah dipilih ?
Strategi tingkat
operasional akan menentukan bagaimana masing-masing bidang fungsional (seperti sumber
daya manusia atau akuntansi) benar-benar akan mendukung strategi-strategi
bisnis dan korporasi ?.
Semua strategi ini harus berkaitan erat
untuk memastikan bahwa organisasi bergerak ke arah yang menyatu.
7. Peranan
Pemimpin, manajer dan organisasi dalam menghadapi VUCA
VUCA
adalah singkatan dari Volatile, Uncertain, Complexity
and Ambiguity. Istilah VUCA pertama kali digunakan dalam dunia
militer pada era sembilan puluhan untuk menggambarkan situasi medan tempur yang
dihadapi oleh pasukan operasional dimana informasi medan yang ada amat
terbatas. Bertempur dalam keterbatasan informasi serasa berjalan dalam kebutaan
dan bisa menimbulkan chaos. Keadaan ini
diistilahkan sebagai medan perang kabut (fog war).
Dalam menghadapi era
tidak pasti (VUCA), sebagai pemimpin kita harus percaya diri dan terus mencari
jalan untuk tidak terdisrupsi. Kita juga harus bisa membawa energi dan
kepercayaan kepada tim di organisasi kita. Dalam buku yang berjudul “Leadership Agility” karangan Bill
Joiner dan Stephen Josephs, menjelaskan model kepemimpinan tervalidasi untuk
melakukan hal itu. Penelitian menunjukkan bahwa hanya sekitar 10% manajer yang
menguasai tingkat kelincahan yang diperlukan (agility) untuk bisa
bekerja efektif secara konsisten dan mampu bertahan menghadapi dunia bisnis
yang bergejolak seperti saat ini.
Penelitian menunjukkan bahwa saat ini terdapat tiga
tingkat kelincahan dalam kepemimpinan yang dimiliki oleh organisasi secara
umum: Expert (45% of leaders), Achiever (35%
of leaders), dan Catalyst (10% of leaders).
Masih berdasarkan hasil penelitian,
tingkat Expert bekerja secara taktis, orientasi mereka adalah
memecahkan masalah. Mereka percaya bahwa pemimpin dihormati dan diikuti oleh
orang lain karena otoritas dan keahlian yang dimilikinya. Untuk tingkat Achiever,
mereka berorientasi pada strategi dan hasil. Mereka percaya bahwa pemimpin
perlu memberi tantangan kepada karyawan sehingga termotivasi dan memastikan
mereka puas sehingga mau berkontribusi pada tujuan yang lebih besar. Dan
terakhir tingkat Catalyst, pemimpin katalis adalah orang yang
visioner. Orientasi mereka adalah membangun kekuatan, mengartikulasikan
visi yang inovatif dan inspiratif serta membawa orang-orang tepat ke dalam tim
untuk mewujudkannya. Mereka memberdayakan orang lain dan secara aktif
memfasilitasi perkembangan mereka.
Pemimpin katalis bekerja secara
konsisten dengan menggunakan empat jenis kompetensi agility.
a. Context-setting Agility yaitu kemampuan untuk
mengenali lingkungan, mengantisipasi apa saja yang mungkin berubah, dan
membingkai konteksnya dengan cara yang menarik sehingga ikut mempengaruhi orang
lain. Ini adalah kemampuan untuk melihat koneksi yang dimiliki di luar batas
inisiatif, perusahaan, atau bahkan industri. Ini memungkinkan seseorang melihat
dampak jangka panjang dan berpikir visioner.
b. Stakeholder Agility adalah kemampuan untuk
mengidentifikasi, mencari, dan melibatkan para pemangku kepentingan utama. Ini
adalah kapasitas untuk memahami dan berempati dengan pandangan para pemangku
kepentingan, tidak hanya untuk mendapatkan dukungan tetapi juga menghormati
pandangan mereka untuk kemudian mengambil keputusan yang lebih baik.
c. Creative Agility adalah kemampuan untuk
mengeksplorasi masalah menggunakan berbagai sudut pandang. Pemimpin Katalis
selalu terlibat dalam paradoks jangka pendek vs jangka panjang, praktis
vs idealistik untuk bisa menghasilkan solusi unik.
d. Self-Leadership Agility adalah kemampuan untuk
mengembangkan kesadaran diri dan memimpin diri sendiri dengan membayangkan
pemimpin seperti apa yang mereka inginkan. Mereka berupaya menyelaraskan
perilaku mereka dengan nilai-nilai dan menggunakan pertumbuhan personal untuk
mendorong perkembangan profesional.
Untuk beralih dari Expert menjadi
seorang Achiever, dan akhirnya menjadi seorang Catalyst,
seorang pemimpin harus meningkat agility atau kelincahan di
empat bidang kompetensi di atas. Seperti yang dikatakan oleh Bill Joiner
sebagaimana dikutip SHIFT Indonesia dari Forbes, “Laju perubahan dan tingkat
interdependensi dalam lingkungan bisnis global saat ini menuntut agar tingkat
manajemen paling atas dapat berperan sebagai katalis. Organisasi perlu membantu
banyak manajer senior mereka yang berprestasi untuk tumbuh ke tingkat Katalis
dan manajer Expert mereka untuk menjadi Achiever.”
Sumber : Forbes/hennainam.
Dalam
situasi VUCA para leader dituntut untuk memiliki kejelasan visi jangka panjang
namun fleksibel dan adaptif dengan durasi tempo respon yang pendek. Value dan outcome menjadi
pegangan untuk decision making. Visi jangka
panjang tetap dipegang menjadi pemandu oleh leader. Namun pendekatan adaptif
dan agile menjadi pendekatan di lapangan.
Dr.
Shobikhul Qisom menyampaikan ada 3 strategi yang perlu dilakukan untuk bertahan
di era VUCA dan dimasa organisasi mengalami siklus turnaround. Siklus dimana kurva pengembangan
organisasi mengalami titik yang berpeluang untuk naik ke atas dan turun ke
bawah. 3 Strategi tersebut diantaranya adalah:
a. Leadership. Pada strategi ini organisasi perlu
mengkondisikan semua SDM yang ada untuk fokus pada pekerjaan dan tupoksi
masing-masing. Kemudian meng-ajeg-kan kembali semua pekerjaan sesuai SOP (Standard Operation Procedure). Meningkatkan kualitas
dan pengalaman teknis di tiap departemen serta melakukan perubahan dan inovasi
secara bertahap dan berlaku adil terhadap semua karyawan sebagai seorang
pimpinan.
b. Product Differentiation. Strategi
yang kedua yaitu membuat produk/layanan yang berbeda dengan kompetitor.
Setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat menerapkan strategi
ini yaitu:
1). Produk
atau layanan yang kita buat harus unik (distinguishing feature), mempunyai fitur-fitur yang
berbeda dan tidak dimiliki oleh lembaga lain. Contoh: penentuan jaminan mutu
lulusan kita wajib berbeda dengan sekolah lain.
2). Produk
atau layanan kita mempunyai daya tahan uji yang baik (reliability). Layanan yang kita buat juga harus teruji
di khalayak umum. Teruji dari dampaknya, bertahan lama dan tentunya punyai
nilai kebermanfaatan yang berumur panjang dimata masyarakat (walimurid kita)
3). Produk
atau layanan kita harus juga mempunyai penampilan yang meyakinkan (performance). Contoh: profil sekolah yang berupa
video, harus dibuat secara serius dan tidak terkesan ‘apa adanya’, bila perlu
bekerjasama dengan para ahli dibidang sinematografi atau pakar desain grafis.
4). Produk
atau layanan yang kita buat harus berkualitas,
bukan hanya sekedar pemanis di brosur atau media promosi kita. Saat
memasang Quality Assurance berupa
lulusan sekolah mempunyai hafalan minimal 3 juz, lembaga harus benar-benar
serius untuk menyiapkan programnya, memantau dan mengevaluasi program tersebut
mulai dari siswanya pertama kali masuk kelas sampai ia di kelas akhir.
c. Low cost. Strategi yang terakhir untuk
menghadapi era VUCA dan siklus turnaround, organisasi
atau sekolah harus tetap mengedepankan efisiensi dan efektifitas penggunaan
anggaran. Penggunaan anggaran yang berlebihan dan seringkali keluar dari rapat
kerja yang sudah dilakukan di awal tahun akan sangat berdampak pada strategi ini.
Pemilihan program saat rapat kerja disusun pun harus mempunyai semangat
efisiensi dan efektif.
Dr.
Shobikh menyampaikan apa-apa yang harus dilakukan untuk mengimplementasikan 3
strategi ini yaitu:
a.
Membiasakan
dan merutinkan kembali siklus PDCA (Plan-Do-Check-Action)
b.
Menjalankan
SOP masing-masing departemen sesuai dengan jobdesc
c.
Memiliki
mindset perbaikan terus-menerus (continuous improvement)
d.
Menjadikan
mutu sebagai budaya
8. Keempat pilar
perubahan dalam meningkatkan daya saing bangsa.
Keempat
pilar tersebut adalah sumber daya manusia (SDM), teknologi, industri dan
inovasi.
Peningkatan
kompetensi SDM industri untuk memasuki era revolusi
industri 4.0, dimana Kementerian Perindustrian telah meluncurkan program
pendidikan vokasi yang link and match antara Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) dengan industri di beberapa wilayah di Indonesia yang dimulai
pada Februari 2017. Sebanyak 609 industri dan 1.753 SMK
yang terlibat. Program penciptaan tenaga kerja yang sesuai kebutuhan industri ini akan terus digulirkan lagi pelaksanannya. Memang hasilnya tidak
langsung jadi, butuh waktu dua sampai tiga tahun ke depan.
Penumbuhan
wirausaha rintisan baru (startup) di sektor industri kreatif. Upaya ini
sejalan dengan kesiapan untuk mengambil peluang adanya momentum bonus demografi yang
akan dinikmati Indonesia pada tahun 2030 nanti, karena industri kreatif di
dalam negeri mampu memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian. Industri
kreatif di Indonesia mencatatkan kontribusi yang terus
meningkat terhadap produk domestik bruto (PDB) dalam tiga tahun terakhir.
Pada tahun 2015, sektor ini menyumbang sebesar Rp.
852 triliun, sedangkan pada 2016 mencapai Rp. 923 triliun, dan bertambah
menjadi Rp. 990 triliun di tahun 2017.
Tahun 2018 diproyeksi tembus hingga Rp1.000 triliun.
Guna mendorong transformasi
sosial budaya pada masyarakat Indonesia tersebut, salah satu faktor yang
memengaruhi adalah teknologi. Dalam
penerapan industri 4.0, Indonesia akan didukung dengan lima teknologi utama
yang menjadi ciri khas di era digital, yaitu : konektivitas dan kemampuan komputasi,
kemampuan analitik dan intelegensi mesin, ketersambungan manusia dengan mesin (human-machine
interface), teknologi robotik tingkat lanjut, serta metode manufaktur
melalui cetak tiga dimensi (3D Printing).
Industri manufakur berperan penting mendongkrak perekonomian negara
karena membawa efek berganda yang positif. Misalnya, peningkatan pada nilai
tambah baku dalam negeri, penyerapan tenaga kerja, dan penerimaan devisa dari
eskpor. “Tidak ada satu negara maju di dunia yang tanpa melalui proses
industrialisasi. Beberapa waktu lalu, dalam sebuah conference dengan
UNIDO, Indonesia menjadi inspirator untuk mengimplementasikan industri 4.0 di
negara-negara berkembang Asia Pasifik. Merujuk data Badan Pusat Statistik
(BPS), industri pengolahan masih konsisten
memberikan kontribusi tertinggi dalam struktur produk domestik bruto (PDB)
nasional, dengan porsi mencapai 19,66 persen pada triwulan III tahun 2018.
Indonesia masuk dalam jajaran 9 negara di dunia yang industrinya memberikan
kontribusi besar bagi ekonomi.
Penumbuhan inovasi dalam hal kualitas
dan intensitas kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) di berbagai lini
yang dapat menumbuhkan inovasi dalam upaya pengembangan industri manufaktur
nasional. Peran lembaga litbang yang ada di seluruh Indonesia dapat menjadi penyokong
utama terbentuknya ekosistem inovasi yang melahirkan riset-riset berkualitas
dan memberi manfaat bagi kemajuan sektor industri.
a. Escaping From Midlle Income Economic Trap. Innovation Driven Economy.
Perangkap pendapatan menengah (bahasa Inggris: middle income trap) adalah suatu keadaan ketika suatu negara berhasil
mencapai tingkat pendapatan menengah, tetapi tidak dapat keluar dari tingkatan
tersebut untuk menjadi negara maju. Negara
yang masuk ke dalam perangkap pendapatan menengah akan kehilangan keunggulan
kompetitif mereka dalam mengekspor barang-barang jadi karena gaji pekerja di
negara tersebut meningkat. Pada saat yang sama, negara ini tidak mampu bersaing
secara ekonomi dengan negara-negara maju di pasar dengan nilai tambah yang
tinggi. Akibatnya, negara-negara yang baru saja terindustrialisasi
(seperti Afrika Selatan dan Brasil) belum
keluar dari kelompok pendapatan menengah selama beberapa dasawarsa karena produk nasional bruto per kapita mereka tersangkut dalam kisaran
$1.000 hingga $12.000. Negara-negara ini menghadapi masalah berupa
investasi yang rendah, pertumbuhan industri sekunder yang
lambat, diversifikasi industri yang kurang dan kondisi lapangan kerja yang
buruk. Untuk menghindari perangkap pendapatan menengah, dibutuhkan
strategi-strategi untuk memperkenalkan proses-proses baru dan mencari pasar
baru untuk mempertahankan pertumbuhan ekspor. Peningkatan permintaan domestik
juga merupakan strategi yang penting - kelas menengah yang semakin membesar dapat
menggunakan daya belinya untuk membeli produk-produk inovatif dengan kualitas
tinggi dan membantu mendorong pertumbuhan.
Tantangan terbesar
adalah untuk beralih dari pertumbuhan yang didorong oleh sumber daya alam dan
bergantung pada tenaga kerja yang biaya yang murah menjadi pertumbuhan yang
didasarkan pada produktivitas tinggi dan inovasi. Untuk
mewujudkan hal ini, dibutuhkan investasi dalam bidang infrastruktur dan pendidikan berkualitas
tinggi yang mendorong kreativitas dan terobosan dalam bidang sains dan
teknologi.
Middle-income
countries need to embrace a strategy focused on capability to advance
innovation, move up the value chain, and create decent jobs.
We analyze the reasons for the middle-income trap in Latin America, where
countries have been at the middle-income level for decades, and draw out
lessons for Asia. The middle-income trap captures a situation where a
middle-income country can no longer compete internationally in standardized,
labor-intensive goods because wages are relatively too high, but it also cannot
compete in higher value-added activities on a broad enough scale because
productivity is relatively too low. The result is slow growth, stagnant or
falling wages, and a growing informal economy.
Insufficient development of domestic innovation capabilities is at the
heart of the middle-income trap. In Latin America, it is the result of a
market-led strategy which generated dismal productivity growth, rapid
de-industrialization, a decline in export sophistication in many countries,
poor innovation performance, and underinvestment in the requisite social
capabilities. Globalization provides a challenging context for middle-income
countries to narrow the capabilities gap because they have less time to do so
with more players competing in the innovation space and with technological
innovation changing faster. A comprehensive innovation-focused strategy with
strategic active policies is the only way to escape the middle-income trap. The
nature of the production structure, already existing elements of an innovation
ecosystem, and the possibilities for creating political coalitions in support
of a systemic advancement of innovation capabilities are critical factors
conditioning the escape from the middle-income trap.
b. Improving Competitiveness Index. Boosting Innovation.
What is
Global Competitiveness Index (GCI) ➢ GCI is
defined by the World Economic Forum. It is a set of institutions, policies, and
factors that. determine the level of productivity of a country, conditions of
public institutions and technical.
Indonesia’s
economic competitiveness has stepped up, according to the recently
released Global Competitiveness Report by the World Economic
Forum (WEF). Under the newly introduced Global Competitiveness Index 4.0,
Indonesia has a score of 64.9 points and is ranked at 45th, up two places
compared to the previous index. Neighboring countries Singapore, Malaysia and
Thailand, however, place higher in second place (83.5 points), 25th (74.4
points) and 38th (67.5 points), respectively.
The report
notes that Indonesia benefits from its sheer size and its interconnectedness,
which combined with a vibrant entrepreneurial culture and overall business
dynamism is said to “bode well for the future”. However, the country lacks
innovation capability, particularly in research and development activities.
Indonesia’s R&D spending is less than 0.1 percent of GDP, ranking at 112nd
among 140 countries in the index.
Countries
with the highest spending for R&D are Israel (4.3 percent of GDP), South
Korea (4.2 percent), Japan, Sweden (3.3 percent) and Taiwan (3.2 percent). Another
concern is infrastructure. Among G20 economies, Indonesia is the worst
performer in terms of physical infrastructure with 66.8 points, or almost 25
points behind Japan as the best performer (91.5 points).
The Global
Competitiveness Report is an annual study by the WEF, assessing both
microeconomic and macroeconomic foundations, comprising 98 indicators.
The 2018
report methodology includes several relatively novel factors such as idea
generation, entrepreneurial culture, openness and agility.
c. Fulfilling People Expectation (Role of University). Agent Of Economic Development.
Traditionally, universities are seen as
places of learning and research. For many years these autonomous institutions
could be perceived as ‘ivory towers’, slightly removed from the
responsibilities of society, with researchers and lecturers working towards the
greater good and the pursuit of knowledge and learning for the sake of knowing.
Over the last few years, many studies in
the UK have acknowledged that higher education institutions are worth far more
to their regions and nationally contribute almost £45 billion to the economy,
providing direct employment for over 600,000 people. So, in this modern age,
what are society’s needs and expectations of higher education needs? How are
universities shifting to address them? How can we balance society’s needs with
the autonomy of higher education institutions? When making such a large
contribution to the regional and national economy how can we deliver to our
stakeholder communities?
Professor Purcell addresses these
questions, using her role as Vice-Chancellor at the University of Plymouth to
provide a regional context and providing key examples from her institution that
is carving out its niche as the enterprise university.
This section considers the key roles
played by our universities and explores some of the emerging issues that are
facing the sector. So, let's start with a difficult question...
What is the purpose of higher
education?
Over the 800 years of the modern
university, there have been competing narratives about what the institution is
designed to achieve. Each of these has a strong contemporary resonance, and
universities today generally reflect a balance – whether explicit or implicit –
between the various strands.
In summary, universities have been
seen as:
1.
Communities
dedicated to the learning and personal development of their members, especially
students (this could be termed the 'liberal' theory);
2.
Sources
of expertise and vocational identity (the 'professional formation' theory);
3.
Creators,
testers, and sites for the evaluation and application of new knowledge (the
'research engine' theory, with an important corollary – the 'business and
industry services' theory);
4.
Important
contributors to society and nations (the 'civic and community engagement'
theory).
What do you consider to be the main functions of a
university?
Points you might have identified
include: the role of universities as repositories and generators of knowledge,
the obligation to equip graduates so that they can obtain viable employment, the
obligation to offer rational and timely criticism in areas of public policy and
social and economic life, the presence of universities as large and influential
bodies in civil society and the state and the longer term role of graduates in
creating cohesive and tolerant communities.
d.
Improving
University Compettiveness. Increasing
International Publication.
One way to increase university
competitiveness is through information system management. A literature review
was done to find information system factors that affect university performance
in Quacquarelli Symonds (QS) University Ranking: Asia evaluation. Information
system factors were then eliminated using Delphi method through consensus of 7
experts. Result from Delphi method was used as measured variables in PLS-SEM.
Estimation with PLS-SEM method through 72 respondents shows that the latent
variable academic reputation and citation per paper have significant
correlation to university competitiveness.
In University of Indonesia (UI) the priority to increase
university competitiveness as follow:
(i)
network building in international conference,
(ii)
availability of research data to public,
(iii)
international conference information,
(iv)
information on achievements and accreditations of each major,
(v)
ease of employment for alumni.
Referensi:
Balanced
Scorecard . Customer Service Excellence . Customer Relationship Management .
5S/6S, Kaizen Blitz, Lean, Six Sigma . Lean Six Sigma for Manufacturing and
Service . Lean Six Sigma SCOR (Supply
Chain Operations Reference)
Integration
of Blue Ocean Strategy and Design for Lean Six Sigma. Implementation of
Integrated Performance Management System in World Class Manufacturing and
Service Companies.
Master,
R. J., Overcoming the Barriers to TQM's Success., Quality Progress, May 1996.,
pp.53-55., American Society for Quality.,
Milwaukee, Wisconsin, 1996.
Milwaukee, Wisconsin, 1996.
Swayne,
B., Where Has All the Magic Gone?., Six Sigma Forum Magazine, Pp. 22-27., ASQ
Quality Press, Milwaukee, Wisconsin, May 2003.
Vincent
Gaspersz (Gramedia, 2007-Sedang dalam proses penerbitan). Organizational
Excellence: Model Strategik Menuju World
Class Enterprise Management. Memperkenalkan Cara-Cara Implementasi Teknik
Manajemen Kelas Dunia.
Manajemen Kelas Dunia.
Wendy Purcell,
University of Plymouth, United Kingdom, Balancing
The Needs And Expectations Of Society With The Autonomy Of Higher Education Institutions.
http://mirdin.blogspot.com/2006/12/mengapa-sistem-manajemen-kinerja.html,) diakses 23
November 2019, jam 20:19.
http://shiftindonesia.com/kepemimpinan-di-era-vuca, diakses tgl 23
November 2019, jam 21:02
https://ekbis.sindonews.com/read/1390758/34/manfaatkan-perubahan-pola-berbelanja-1553747336, diakses tgl 23
November 2019, jam 21:09
https://beritagar.id/artikel/berita/penutupan-6-gerai-giant-lantaran-perubahan-pola-belanja-konsumen, diakses tgl 23
November 2019, jam 21:17
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Manajemen_strategis, diakses tgl 23
November 2019, jam 21:30.
https://www.thejakartapost.com/news/2018/10/17/indonesias-competitiveness-improves-but-still-well-below-singapore-malaysia.html, diakses tgl 23
November 2019, jam 21:30.
https://id.wikipedia.org/wiki/Perangkap_pendapatan_menengah, diakses tgl 23
November 2019, jam 21:50.
https://www.adb.org/publications/escaping-middle-income-trap-innovate-or-perish, diakses tgl 23
November 2019, jam 22:30.
Komentar