PANCAKAKI
Oleh : Agus Prana Mulia
(Budayawan Bogor)
(Budayawan Bogor)
Pancakaki bagi orang Sunda sepertiku sangatlah penting. Karena sebagai salah satu upaya merekatkan kekerabatan diantara anggota keluarga. Sayang mayoritas generasi muda Sunda - termasuk bangsa Indonesia - sekarang sudah banyak yang meninggalkan, akibatnya terjadi kehilangan obor alias tidak tahu silsilah keluarga. Saudara menjadi orang lain, orang lain menjadi saudara yang dalam pepatah sundanya : dulur jadi batur, batur jadi dulur. padahal jelek-jelek juga adalah saudara, buruk-buruk papan jati.
Penelusuran garis keturunan (sakeseler) dalam khazanah kesundaan diistilahkan dengan pancakaki. Dalam Kamus Umum Basa Sunda (1993), pancakaki diartikan dengan dua pengertian.
1. Pancakaki menunjukkan hubungan seseorang dalam garis keluarga (perenahna jelema ka jelema deui anu sakulawarga atawa kaasup baraya keneh). Kita pasti mengenal istilah kekerabatan, seperti indung, bapa, aki, nini, emang, bibi, euceu, anak, incu, buyut, alo, suan, kapiadi, kapilanceuk, aki ti gigir, dan nini ti gigir.Istilah tersebut merupakan sistem kekerabatan masyarakat Sunda yang didasarkan pada hubungan seseorang dalam sebuah komunitas keluarga. Dalam sistem kekerabatan urang Sunda diakui juga garis saudara (nasab) dari bapak dan ibu, seperti bibi, emang, kapiadi, kapilanceuk, nini ti gigir, dan aki ti gigir.
2. Pancakaki juga bisa diartikan sebagai proses penelusuran hubungan seseorang dalam jalur kekerabatan (mapay perenahna kabarayaan). Secara empiris, ketika kita mengunjungi suatu daerah, pihak yang dikunjungi akan membuka percakapan, "Ujang teh ti mana jeung putra saha (Adik itu dari mana dan anak siapa)?" Ini dilakukan untuk mengetahui asal-usul keturunan tamu sehingga pribumi akan lebih akrab atau wanoh dengan semah guna mendobrak kekikukan dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Maka, pancakaki pada pengertian ini adalah proses pengorekan informasi keturunan untuk menemukan garis kekerabatan yang sempat putus. Biasanya hal ini terjadi ketika seseorang nganjang ke suatu daerah dan di sana ia menemukan bahwa antara si pemilik rumah dan dirinya ada ikatan persaudaraan. Maka, ada peribahasa bahwa dunia itu tidak selebar daun kelor. Antara saya dan Anda, mungkin kalau ber-pancakaki, ternyata dulur. Minimal sadulur jauh.
Menurut Edi S Ekadjati (Kebudayaan Sunda, 2005), urang Sunda memperhitungkan dan mengakui kekerabatan bilateral, baik dari garis bapak maupun ibu. Ini berbeda dengan sistem kekerabatan orang Minang dan Batak yang menganut sistem kekerabatan matriarkal dan patriarkal, yaitu hanya memperhitungkan garis ibu dan garis keturunan bapak.
Pancakaki dalam bahasa Indonesia mungkin agak sepadan dengan silsilah, yakni kata yang digunakan untuk menunjukkan asal-usul nenek moyang beserta keturunannya. Akan tetapi, ada perbedaannya. Menurut Ajip Rosidi (1996), pancakaki memiliki pengertian hubungan seseorang dengan seseorang yang memastikan adanya tali keturunan atau persaudaraan. Namun, menjadi adat istiadat dan kebiasaan yang penting dalam hidup urang Sunda, karena selain menggambarkan sifat-sifat urang Sunda yang ingin selalu bersilaturahim, itu juga merupakan kebutuhan untuk menentukan sebutan masing-masing pihak dalam menggunakan bahasa Sunda.
Mengapa? Sebab, pancakaki sebagai produk kebudayaan Sunda diproduksi karuhun Ki Sunda untuk menciptakan relasi sosial dan komunikasi interpersonal yang harmonis dalam komunitas, salah satunya ajen-inajen berbahasa. Tidak mungkin, jika kita tahu si A atau si B memiliki hubungan kekerabatan dengan kita, dan lebih tua, kita mencla-mencle berbicara tak sopan. Jadi, dengan ber-pancakaki sebetulnya kita (urang Sunda) tengah membina silaturahim dengan setiap orang.
Pancakaki nya éta hiji sistem nu ngagambarkeun hubungan kulawarga. Bangsa-bangsa di dunya atawa nu basana béda bisa waé Dina adat istiadat urang Sunda, pancakaki téh ngabogaan dua harti. Kahiji, pancakaki téh hartina pernahna jelema ka jelema deui anu sakulawarga atawa anu kaasup baraya kénéh. Upamana baé, kumaha pancakakina si Dadap ka si Waru, naha kaasup indung, bapa, nini, aki, paman, bibi, anak, incu, buyut. alo, suan, jsté. Kadua, pancakaki téh hartina mapay perenahna kabarayaan. pola-pola nu ampir sarua. Upami kitu, narjamahkeun hiji istilah ka basa séjén minangka pagawéan nu teu susah. Ngan sakapeung, panarjamah héséeun narjamahkeun istilah-istilah pancakaki ti bangsa nu sistemna béda.
Ka handap : anak: turunan kahiji (turunan pertama), incu: turunan kadua, anak ti anak (cucu, turunan kedua, anak dari anak), buyut: turunan katilu, anak ti incu (cicit, turunan ketiga, anak dari cucu) sarta bao: turunan kaopat, anak ti buyut (turunan keempat, anak dari buyut).
Ka luhur : bapa: ayah, indung: ibu, aki: kakek, ayah dari ayah/ibu, nini: nenek, ibu dari ayah/ibu, uyut: ayah/ibu dari kakek/nenek, bao: ayah/ibu daru uyut, janggawaréng: ayah/ibu dari bao, udeg-udeg: ayah/ibu dari janggawaréng, kakait siwur: ayah/ibu dari udeg-udeg, karuhun: silsilah ke atas yang sudah meninggal sarta sesepuh: silsilah ke atas yang masih hidup.
Ka gigir : lanceuk: abang/kakak, saudara laki-laki/perempuan yang lebih tua, adi: adik, saudara laki-laki/perempuan yang lebih muda, uwa: saudara laki-laki/perempuan yang lebih tua (abang/kakak) dari ayah/ibu, paman/emang: saudara laki-laki yang lebih muda (adik) dari ayah/ibu, bibi: adina bapa/indung (awéwé), alo: keponakan, anak dari abang/kakak, suan: keponakan, anak dari adik, aki ti gigir: kakek, saudara kandung laki-laki (abang/adik) dari kakek/nenek, nini ti gigir: nenek, saudara kandung perempuan (kakak/adik) dari kakek/nenek, kapilanceuk: sepupu, anak abang/kakak dari ayah/ibu, kapiadi: sepupu, anak adik dari ayah/ibu, incu ti gigir: incuna adi, emang ti gigir: anakna adi aki/nini (lalaki), bibi ti gigir: anakna adi aki/nini (awéwé).
Perkawinan : salaki: suami, pamajikan: istri, mitoha: mertua, minantu: menantu, lanceuk beuteung: abang/kakak ipar, abang/kakak kandung dari suami/istri, adi beuteung: adik ipar, adik kandung dari suami/istri, Anak : tunggal: anak tunggal, cikal: anak sulung, anak yang lahir pertama, panengah: anak tengah, anak yang lahir tengah-tengah (biasanya untuk jumlah anak ganjil), pangais bungsu: abang/kakak dari anak bungsu, urutan kedua dari bawah, bungsu: anak bungsu, anak yang lahir terakhir.
Istilah Séjén : lanceuk sabrayna: abang/kakak sepupu yang masih satu turunan dari kakek/nenek, adi sabrayna: adik sepupu yang masih satu turunan dari kakek/nenek, dulur pet ku hinis: saudara kandung, saudara satu ibu dan satu bapak, dulur sabaraya:dulur pisan, anakna emang/bibi jeung ua, dulur teges: dulur enya saindung sabapa, indung téré: pamajikan Bapa lain anu ngalahirkeun urang, bapa téré: salaki indung lain anu ngalantarankeun urang lahir, anak téré : anak sampakan ti lalaki/pamajikan, dulur patétéréan: anak indung/bapa téré, baraya laér : baraya anu nurutkeun pancakaki geus jauh, teu hir teu walahir: teu baraya saeutik-eutik acan, bau-bau sinduk: baraya kénéh sanajan geus laér, baraya: sakur anu aya pancakakina, bésan: indung/bapana minantu sarta dahuan: salaki atawa pamajikanna lanceuk.
Studi Kasus Pribadi.
Saya diberi nama oleh orang tua : Agus Pranamulia yang merupakan anak sulung dari 7 bersaudara. Secara beruntun mereka adalah :
1. Sri Suprihatin (Cici), yang tinggal di Lengis, Ciadeg, Cigombong Bogor,
2. Setia Lesmana, DR, tinggal di Vila Ciomas, Bogor,
3. Dodi Purnama, Spd, tinggal di Cikampek
4. Nina Komalasari (pipit), tinggal di Cikampek
5. Cahya Subhanansyah, SEI tinggal di Bogor
6. Wildan Purwana (Alit Irta), tinggal di Cikampek.
Dari garis ayah :
Almarhum ayahku adalah pensiunan Bank BRI Cikampek, bernama Caswin bin Karnadi (Aki Tacih). Meniti karir di BRI Veteran Jakarta dan pensiun di BRI Cikampek. Kakekku yang bernama Aki Tacih, merupakan kokolot lembur, tinggal di kampung Purwajaya, Purwadadi, Subang dan mempunyai 2 orang adik yang bernama Aki Wara dan Nini Kalmi. Ayahnya bernama Sarji bin Cakrawinata. Menurut informasi Mang Anot, Sarji ini berasal dari daerah Cilamaya kabupaten Karawang. Saudara yang terdata disana adalah anak-anak dari Nini .... yang mempunyai putera : Ambeh, Aki Wilin dan Ukim. Anak-anak Aki Wilin adalah Alam, Hasan yang berdomisili di daerah Sukahaji, Gempol, Cilamaya.
Guru Wara yang pernah mengajar di SDN Tumaritis, mempunyai anak : alm Fatonah, alm Endang dan Dedi yang bekerja di bangdes kecamatan Serang, Bekasi. Kabar terakhir mang Dedi hijrah menjadi guru di SMA Serang, Bekasi. Sementara itu si bungsu Nini Kalmi mempunyai anak : Engkok, Ati dan Haji Tosri. H. Tosri sendiri adalah pedagang daging yang terkenal di daerah Setiakawan, Duri Jakarta Pusat. Hasil perkawinannya dengan bu Haji Indun yang berasal dari Cikadueun Pandeglang, menurunkan anak-anaknya di daerah Jakarta, antara lain : Mumun, Bedah, Wati dan Asep.
Adapun nenekku dari ayah berasal dari Tanjungsari, Sumedang yang bernama nini Umi binti Narfan. Niini Umi bersaudara dengan nini Kufi.
Dari garis ayah :
Almarhum ayahku adalah pensiunan Bank BRI Cikampek, bernama Caswin bin Karnadi (Aki Tacih). Meniti karir di BRI Veteran Jakarta dan pensiun di BRI Cikampek. Kakekku yang bernama Aki Tacih, merupakan kokolot lembur, tinggal di kampung Purwajaya, Purwadadi, Subang dan mempunyai 2 orang adik yang bernama Aki Wara dan Nini Kalmi. Ayahnya bernama Sarji bin Cakrawinata. Menurut informasi Mang Anot, Sarji ini berasal dari daerah Cilamaya kabupaten Karawang. Saudara yang terdata disana adalah anak-anak dari Nini .... yang mempunyai putera : Ambeh, Aki Wilin dan Ukim. Anak-anak Aki Wilin adalah Alam, Hasan yang berdomisili di daerah Sukahaji, Gempol, Cilamaya.
Guru Wara yang pernah mengajar di SDN Tumaritis, mempunyai anak : alm Fatonah, alm Endang dan Dedi yang bekerja di bangdes kecamatan Serang, Bekasi. Kabar terakhir mang Dedi hijrah menjadi guru di SMA Serang, Bekasi. Sementara itu si bungsu Nini Kalmi mempunyai anak : Engkok, Ati dan Haji Tosri. H. Tosri sendiri adalah pedagang daging yang terkenal di daerah Setiakawan, Duri Jakarta Pusat. Hasil perkawinannya dengan bu Haji Indun yang berasal dari Cikadueun Pandeglang, menurunkan anak-anaknya di daerah Jakarta, antara lain : Mumun, Bedah, Wati dan Asep.
Adapun nenekku dari ayah berasal dari Tanjungsari, Sumedang yang bernama nini Umi binti Narfan. Niini Umi bersaudara dengan nini Kufi.
Dari garis ibu :
Sementara ibuku mempunyai nama (Sa) Anih yang lahir di Banjir Kanal Jakarta Barat. Dinamai demikian karena merupakan 'sisa' setelah kakak kandungnya banyak yang meninggal dan menyisakan satu-satunya ibu saya. Ayahnya bernama Acim, seorang pensiunan Angkatan Darat yang berasal dari daerah pinggiran Jakarta. tepatnya duren seribu, Sawangan, Depok. Acim adalah putera dari Minan (Pondok Raga, Sawangan) bin Iti bin ..... Keluarga kakekku memang merupakan bagian dari para pendiri pesantren 'Darut Tafsir' Duren Seribu, Sawangan, Kota Depok. Sewaktu kecil wilayah ini masuk ke dalam Parung. Saya lihat kampus SEBI (Syariah banking Institute) yang baru terletak di Pondok Rangga, Sawangan.
Adapun nenekku berasal dari sebuah kampung di kaki gunung Salak. Namanya kampung Babakan Desa Cibalung, Cijeruk, Bogor. Daerah ini terkenal dengan tanaman 'bambu'nya. Nenekku sendiri bernama Hajah Aisah binti Cakerim bin Teloy bin Idong bin Afinah bin Ki Jai'an. Nah sosok Ki Jai'an sendiri yang makamnya di bantar panjang, Maseng sangatlah populer.
Nenekku sendiri adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara. Kakaknya bernama : Aki Saih, Lurah Saim, Nini Jaah, Nini Amah, Nini Karsih, dan Haji Isda.
Aki Saih menurunkan alm Emang, alm Icih, alm Emah, Isah dan Guru Abas.
Aki Saim menurunkan : alm Ikah, alm Sana, alm Ulan.
Nini Jaah menurunkan alm Mimi, alm Emin, Ocah, alm Fatah, alm Tomi, Muna, Titin.
Nini Karsih tinggal di gang menteng ujung yang menikah dengan bah Hasyim guru ngaji menurunkan saudara Acun Basyuni, alm Dasuki, Mumuh, Nunung dan Cucup (Sopyan Tsauri, pegawai BMKG).
Nini Amah menurunkan alm Ari.
Aki Isda menurunkan alm Kosasih Ismatullah.
Uyutku Cakerim mempunyai saudara yang bernama :
Uyut Baimin yang menurunkan anak-anaknya di daerah Legok PR kampung Selaawi, dari isteri pertama mempunyai putra : wa Iha, wa arsi, wa Tu'ah, wa Karta, wa Hatni. Setelah meninggal isteri pertama menikah yang kedua dengan Nini Munawaroh dari Cisaat Sukabumi. Mempunyai anak bernama : Bah Tatang, Haji Solihat dan Haji Abduloh.
Sementara ibuku mempunyai nama (Sa) Anih yang lahir di Banjir Kanal Jakarta Barat. Dinamai demikian karena merupakan 'sisa' setelah kakak kandungnya banyak yang meninggal dan menyisakan satu-satunya ibu saya. Ayahnya bernama Acim, seorang pensiunan Angkatan Darat yang berasal dari daerah pinggiran Jakarta. tepatnya duren seribu, Sawangan, Depok. Acim adalah putera dari Minan (Pondok Raga, Sawangan) bin Iti bin ..... Keluarga kakekku memang merupakan bagian dari para pendiri pesantren 'Darut Tafsir' Duren Seribu, Sawangan, Kota Depok. Sewaktu kecil wilayah ini masuk ke dalam Parung. Saya lihat kampus SEBI (Syariah banking Institute) yang baru terletak di Pondok Rangga, Sawangan.
Adapun nenekku berasal dari sebuah kampung di kaki gunung Salak. Namanya kampung Babakan Desa Cibalung, Cijeruk, Bogor. Daerah ini terkenal dengan tanaman 'bambu'nya. Nenekku sendiri bernama Hajah Aisah binti Cakerim bin Teloy bin Idong bin Afinah bin Ki Jai'an. Nah sosok Ki Jai'an sendiri yang makamnya di bantar panjang, Maseng sangatlah populer.
Nenekku sendiri adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara. Kakaknya bernama : Aki Saih, Lurah Saim, Nini Jaah, Nini Amah, Nini Karsih, dan Haji Isda.
Aki Saih menurunkan alm Emang, alm Icih, alm Emah, Isah dan Guru Abas.
Aki Saim menurunkan : alm Ikah, alm Sana, alm Ulan.
Nini Jaah menurunkan alm Mimi, alm Emin, Ocah, alm Fatah, alm Tomi, Muna, Titin.
Nini Karsih tinggal di gang menteng ujung yang menikah dengan bah Hasyim guru ngaji menurunkan saudara Acun Basyuni, alm Dasuki, Mumuh, Nunung dan Cucup (Sopyan Tsauri, pegawai BMKG).
Nini Amah menurunkan alm Ari.
Aki Isda menurunkan alm Kosasih Ismatullah.
Uyutku Cakerim mempunyai saudara yang bernama :
Uyut Baimin yang menurunkan anak-anaknya di daerah Legok PR kampung Selaawi, dari isteri pertama mempunyai putra : wa Iha, wa arsi, wa Tu'ah, wa Karta, wa Hatni. Setelah meninggal isteri pertama menikah yang kedua dengan Nini Munawaroh dari Cisaat Sukabumi. Mempunyai anak bernama : Bah Tatang, Haji Solihat dan Haji Abduloh.
Wa iha : mamad (alm), Uki (Musa Bantar Kambing), H. Mustofa (memed gadog), Inun (Muhtar Nanggeleng, Empat di selaawi, to'ah).
wa Arsi : Hanafi, Romi (bengkel mang Hamid), piah (bi'ah mang Odih), odah (ibrohim), aam (hadri, wawan, eroh),
Wa Tu'ah : uum bojong konong (udin, jaja, jujun, cecep, roh isteri apih), oji bojong koneng (syukur, sobar, bae), ojan bjg menteng pentas (didi, duduy, diding, yayat, wawan), yayat, titim bjg koneng (dayat).
Hatni kebon pala Cibadak (sopiah, eman, Idah, Ace)
Anak-anak Bah Tatang dari siteri Siti Khadijah terdiri dari :
1. Titin (Edi Sudiyana, Pademangan, Jakarta, Aep di Selaawi, Neneng di Sela Awi, Dadan & Rustiyah belajar nyantren di Cibubur).
2. Ahmad Rifa'i beristerikan Eli Nurlaeli Cipicung, Cibuntu, Pelabuhan Ratu : Siti Nurasiyah Jamil (Nanggewer Mekar), Usep Jumhur, M.Ismail Marjuki, M.Sulaeman Rasyid, Abdul Qadir Jaelani, Siti Jenab Nuraeni, Siti Latifah Nuralela dan Siti Nurhasanah).
3. Punarsih : Said Hudri, Ocad Rosadi, Kamal.
4. Suparman (Alm) : Ujang Tajudin, Nurhafni, Candra, Mae.
5. Miski di Kongsi Cisarua :
6. Nurdin di Kp. Pule, Cikarang
Hj. Solihat tidak mempunyai putra.
H. Abduloh :
1. Yayat di Nagrak
2. Wawat di Cicurug
3. Heri
4. Eha
5. Yeni
Uyut Sapilot yang mempunyai anak angkat bernama yang biasa menjadi 'tukang urut' nini ma'am di bantar panjang, maseng
Uyut Doing yang 'hijrah' ke daerah Jogjogan, Cisarua menghindari pajak zaman Belanda. Pak Doing dan keturunannya sendiri kini tinggal di daerah Cilember, Cisarua, Bogor. Anak-anaknya antara lain : H. Uju, H. Arif, 'Ala, Oip dan Usup.
Anak-anak Bah Tatang dari siteri Siti Khadijah terdiri dari :
1. Titin (Edi Sudiyana, Pademangan, Jakarta, Aep di Selaawi, Neneng di Sela Awi, Dadan & Rustiyah belajar nyantren di Cibubur).
2. Ahmad Rifa'i beristerikan Eli Nurlaeli Cipicung, Cibuntu, Pelabuhan Ratu : Siti Nurasiyah Jamil (Nanggewer Mekar), Usep Jumhur, M.Ismail Marjuki, M.Sulaeman Rasyid, Abdul Qadir Jaelani, Siti Jenab Nuraeni, Siti Latifah Nuralela dan Siti Nurhasanah).
3. Punarsih : Said Hudri, Ocad Rosadi, Kamal.
4. Suparman (Alm) : Ujang Tajudin, Nurhafni, Candra, Mae.
5. Miski di Kongsi Cisarua :
6. Nurdin di Kp. Pule, Cikarang
Hj. Solihat tidak mempunyai putra.
H. Abduloh :
1. Yayat di Nagrak
2. Wawat di Cicurug
3. Heri
4. Eha
5. Yeni
Uyut Sapilot yang mempunyai anak angkat bernama yang biasa menjadi 'tukang urut' nini ma'am di bantar panjang, maseng
Uyut Doing yang 'hijrah' ke daerah Jogjogan, Cisarua menghindari pajak zaman Belanda. Pak Doing dan keturunannya sendiri kini tinggal di daerah Cilember, Cisarua, Bogor. Anak-anaknya antara lain : H. Uju, H. Arif, 'Ala, Oip dan Usup.
Anak 'Ala yaitu H.Udin tinggal di Pasir Panjang. Jogjogan, Cisarua.
Dari pihak ibu nenek adalah putera dari Mak Atu binti Teloy.
Mudah-mudahan bermanfaat, terutama sekali pada kerabat dekat yang selama ini sudah 'jauh' dan tidak mengetahui alur leluhurnya.
Kuntowijoyo dalam buku berjudul Budaya dan Masyarakat (2006:6), menulis bahwa dalam budaya kita akan ditemukan adanya tiga komponen pokok, yaitu lembaga budaya, isi budaya, dan efek budaya (norma-norma). Lembaga budaya menanyakan siapa penghasil produk budaya, pengontrol, dan bagaimana kontrol itu dilakukan. Isi (substansi) budaya menanyakan apa yang dihasilkan atau simbol-simbol apa saja yang diusahakan. Adapun efek budaya menanyakan konsekuensi apa yang diharapkan.
Maka, anomali budaya (kebudayaan disfungsional) akan terjadi jika simbol dan normanya tidak lagi diejawantahkan masyarakat. Akibatnya, muncul kontradiksi sehingga memicu lahirnya kelumpuhan dasar-dasar relasi secara sosiologis. Ini akan terjadi juga dalam ruang lingkup relasi sosial kemasyarakatan urang Sunda jika pancakaki sebagai isi kebudayaan lokal tidak mendapatkan porsi pengamalan dan pelestarian. Efek kebudayaan pun tidak akan dirasakan, seperti menggejalanya keterputusan komunikasi dan relasi antar-dulur (kerabat) yang satu dengan yang lain.
Ketika tidak memiliki efek budaya, hal itu akan memicu lahirnya anomali akibat minimnya keinginan kita untuk mengaktifkan simbol kebudayaan, salah satunya pancakaki, dalam hidup keseharian. Tradisi silaturahim atau silaturahim khas Sunda (baca: pancakaki) ini sesuai dengan ajaran agama yang mengajarkan umatnya untuk menyebarkan keselamatan. Silaturahim juga merupakan salah satu penentu masuk surga dan terciptanya keharmonisan interaksi.
Namun, bagi urang Sunda kiwari, ber-pancakaki tidak hanya dilakukan untuk menelusuri garis keturunan, tetapi juga menelusuri dari mana asal diri kita. Karena itu, seorang pengusaha dan pejabat, umpamanya, sadar bahwa sebetulnya mereka berasal dari rakyat.
Karena itu, saatnya kita ber-pancakaki. Lirik kiri-kanan, jangan-jangan ada keluarga dekat atau jauh, bahkan rakyat miskin yang tak bisa makan. Sebab, dalam ajaran agama, semua manusia bersaudara. Semua berasal dari Nabi Adam AS. Jadi, dulur sadayana oge manusa mah! Wallahualam.
Wallahu a'lam.
Bogor, 12 Desember 2019.
Dari pihak ibu nenek adalah putera dari Mak Atu binti Teloy.
Mudah-mudahan bermanfaat, terutama sekali pada kerabat dekat yang selama ini sudah 'jauh' dan tidak mengetahui alur leluhurnya.
Kuntowijoyo dalam buku berjudul Budaya dan Masyarakat (2006:6), menulis bahwa dalam budaya kita akan ditemukan adanya tiga komponen pokok, yaitu lembaga budaya, isi budaya, dan efek budaya (norma-norma). Lembaga budaya menanyakan siapa penghasil produk budaya, pengontrol, dan bagaimana kontrol itu dilakukan. Isi (substansi) budaya menanyakan apa yang dihasilkan atau simbol-simbol apa saja yang diusahakan. Adapun efek budaya menanyakan konsekuensi apa yang diharapkan.
Maka, anomali budaya (kebudayaan disfungsional) akan terjadi jika simbol dan normanya tidak lagi diejawantahkan masyarakat. Akibatnya, muncul kontradiksi sehingga memicu lahirnya kelumpuhan dasar-dasar relasi secara sosiologis. Ini akan terjadi juga dalam ruang lingkup relasi sosial kemasyarakatan urang Sunda jika pancakaki sebagai isi kebudayaan lokal tidak mendapatkan porsi pengamalan dan pelestarian. Efek kebudayaan pun tidak akan dirasakan, seperti menggejalanya keterputusan komunikasi dan relasi antar-dulur (kerabat) yang satu dengan yang lain.
Ketika tidak memiliki efek budaya, hal itu akan memicu lahirnya anomali akibat minimnya keinginan kita untuk mengaktifkan simbol kebudayaan, salah satunya pancakaki, dalam hidup keseharian. Tradisi silaturahim atau silaturahim khas Sunda (baca: pancakaki) ini sesuai dengan ajaran agama yang mengajarkan umatnya untuk menyebarkan keselamatan. Silaturahim juga merupakan salah satu penentu masuk surga dan terciptanya keharmonisan interaksi.
Namun, bagi urang Sunda kiwari, ber-pancakaki tidak hanya dilakukan untuk menelusuri garis keturunan, tetapi juga menelusuri dari mana asal diri kita. Karena itu, seorang pengusaha dan pejabat, umpamanya, sadar bahwa sebetulnya mereka berasal dari rakyat.
Karena itu, saatnya kita ber-pancakaki. Lirik kiri-kanan, jangan-jangan ada keluarga dekat atau jauh, bahkan rakyat miskin yang tak bisa makan. Sebab, dalam ajaran agama, semua manusia bersaudara. Semua berasal dari Nabi Adam AS. Jadi, dulur sadayana oge manusa mah! Wallahualam.
Wallahu a'lam.
Bogor, 12 Desember 2019.
DINU KIWARI NGANCIK NU BIHARI SEJA SAMPEUREUN JAGA
Komentar