TASAWUF, ZIKIR, MODERNITAS DAN PEMBERDAYAAN
Oleh : Agus
Pranamulia
Konsultan Manajemen Sumber Daya Manusia & Kelembagaan
A. Iftitah
Seluruh
komponen bangsa memiliki kewajiban untuk membangun Sumber Daya Manusia (SDM)
yang handal, unggul, berkualitas, dan berakhlak mulia. Pemerintah, masyarakat
dan semua elemen yang ada di dalamnya, bertanggungjawab dan memiliki peran yang
sama dalam mewujudkan tujuan mulia tersebut. Dalam mengimplementasikan
kesadaran atas segenap persoalan yang ada, tidak cukup hanya dengan memahami
dan memikirnya saja. Dibutuhkan aplikasi dari kesadaran atas persoalan
tersebut.
Islam telah
meletakan dasar-dasar pemahaman keimanan dan ketakwaan secara lebih konkret
dengan konsep ‘ulumul hadis’ yaitu : Iman, Islam dan Ihsan. Ketiganya diwujudkan dalam praktek tasawuf yang dimulai
dari abad pertama Hijrah sebagai bentuk reaksi perlawanan terhadap penyimpangan
dan representasi ajaran Islam yang sudah diluar batas syariat, termasuk yang
dilakukan pemerintah atau raja saat itu.
Dalam
pendekatan Esoteris, Islam dipahami melebihi segi lahiriah (syariat), dengan
memasuki segi yang lebih mendalam, realitas tinggi (high reality) yang bersifat batin. Dengan pendekatan ini, Islam
ditafsiri secara sufistik dan penuh terbuka pada kearifan agama-agama. Menurut
pendekatan ini, manusia terdiri dari tiga unsur bertingkat, yaitu : jasmani (fisik, badan atau tubuh), nafsani (unsur manusia yang bersifat nafs,
jiwa atau psikologi) dan rohani
(roh atau spirit).
Karena itu
dalam pendekatan Esoteris ada praktik zikir, dimana dengan zikir kita kembali
kepada Allah swt. Hajar Aswad menjadi simbol permulaan dan akhir dari thawaf, gerak
untuk mencari kembali asal “Inna lillahi wa
inna ilaihi raji’un”. (Sesungguhnya
kita semua berasal dari Allah, dan kepada Allah kita akan kembali). Bayi yang
tenteram berada di dalam dekapan ibunya. Dengan zikir seolah-olah kita didekap
Allah sehingga hati menjadi tenteram. Ala bi dzikr Allah
tathma’inn al-qulub. (Ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah,
maka hati menjadi tenteram).
Untuk kembali,
kita harus tahu jalan-Nya. Maka ingat kepada Allah yang disebut zikir itu lebih
merupakan sikap batin daripada sikap lahir. Sebetulnya zikir adalah suatu cara
untuk menyadarkan kita bahwa Allah hadir dalam hidup kita. Agama bukan teori
yang harus dihapal, tetapi sebuah jalan yang harus dilalui. Bagi para sufi,
batin adalah organ yang dapat mengantarkannya untuk mengenal Allah swt. Setiap
tingkatan yang ada merupakan salah satu pengalaman yang muncul karena
terjadinya pertemuan spritual dengan Allah. Di kalangan sufi sendiri, cara,
prinsip pembagian wujud dan istilah teknis batin (lathaif) berbeda-beda
sesuai dengan hasil intensitas pendakian pengalaman spiritualnya.”
B. Mabahis
1. Tasawuf
Banyak
pendapat yang memaknai tasawuf berdasarkan akar kata :
a.
Diturunkan dari kata shafa yang berarti jernih.
b.
Diambil dari
kata shafwa yang berarti orang yang terpilih.
c.
Diturunkan dari kata shaff yang berarti baris
atau deretan. Mengandaikan para generasi muslim awal yang tegak berdiri di
baris pertama dalam ibadah maupun jihad.
d.
Shuffa yang berarti sebuah serambi
sederhana yang terbuat dari tanah
dengan bangunan sedikit lebih tinggi dari tanah yang terletak di samping masjid
Nabi Muhammad saw di Madinah, tempat duduk-duduk para sahabat nabi yang jernih
hatinya.
e.
Shuf yang berarti wol,
yaitu sekelompok orang pemakai kain wol yang menaruh perhatian besar pada sisi
spiritual, tetapi kurang memperhatikan penampilan luar.
Apa
pun akar katanya, tasawuf hadir dengan menunjuk makna orang-orang yang tertarik
pada pengetahuan ‘sisi dalam’ orang-orang yang berupaya mencari jalan dan praktik-praktik
amalan yang dapat mengantarkannya pada kesadaran dan pencerahan hati.
Sebenarnya
jika kita teliti, kata qalbu, akal dan pikiran tidak terdapat dalam Al-Qur’an,
kecuali sebagai kata kerja (verb). Afala tatafakkarun atau afala ta’qilun,
yang memberikan pemahaman bahwa akal dan pikiran sebagai kegiatan bernalar dan
merenungi bagi setiap manusia. Istilah qalbu pun tidak mesti merujuk pada
segumpal daging yang biasa disebut hati. Qalb bersifat metafisik, bukan materi.
Hati atau qalb, sesungguhnya merupakan suatu genus yang mencakup beberapa
spesies. Artinya qalb meliputi rupa-rupa jenis lain yang terdapat dalam makna
qalb tersebut.
Dalam
rohani manusia terdapat beberapa potensi, yaitu :
a. Bashirah atau mata hati (eye
of heart). QS. Al-Qiyamah ayat 14. “Manusia perlu menatapi dirinya dengan
mata hatinya.” Bashirah mempunyai sifat dan potensi untuk melihat kebaikan dan
keburukan. QS. Al-Syams ayat 8. “ Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketaqwaannya.”
b. Dhamir, moral. Berfungsi untuk
memotivasi dalam bertindak kebaikan. Dhomir ijtimai (moralitas yang terbentuk
karena lingkungan dan bersifat sosial) , qanuni (moralitas yang terbentuk karena norma-norma
dan ketentuan yang berlaku), dan diny (moralitas berdasarkan petunjuk agama).
c. Fuad, yang berfungsi
sebagai hakim atau penentu bagi manusia. Manusia dalam melakukan tindakan akan
selalu diliputi oleh perasaan apakah tindakannya ini baik ayau buruk. Fuad
tidak akan mungkin menyesatkan, tetapi justru yang memberikan kejelasan baik
buruknya suatu tindakan. QS. Al-Najm ayat 11. “Fuad tidak akan membohongi
terhadap apa yang dilihatnya.”
d. Sirr, rahasia. Fungsinya
untuk mengawasi tindakan yang sudah berjalan.
e. Lathaif, yaitu kelembutan
hati. Penekanannya pada pengalaman personal dan batin mengenal Allah, membuat
para sufi introspeksi batin secara cermat.
2. Tarekat
Praktek
dari pada tasawuf adalah tarekat, yang mengambil landasan diantaranya dari
surat Jin 917:16) “ Wa an lauw istaqaamu ‘ala ttariqati la’asqaynaahum maa’an
ghadaqan” (Sekiranya mereka tetap berada di jalan yang lurus,
pasti Kami curahkan air yang melimpah). Al-Qur’an
banyak menggunakan air sebagai simbol kehidupan. Artinya orang yang menjalankan
agama secara sungguh-sungguh akan dilimpahi berbagai macam berkah, materi,
moral dan spiritual.
Salah
satu berkah rohani itu ialah wawasan hati nurani ke dalam sesuatu yang lebih
tinggi, yang lahir dari kehendak dan usaha kita untuk berdiri tegak di jalan
yang benar, sesuai dengan hukum alam, hukum moral, dan spiritual.
Secara
harfiah tarekat berarti jalan, sama dengan syari’ah, yaitu jalan setapak menuju
oase yang dalam bahasa arabnya jannah, taman, biasa diterjemahkan
sebagai surga. Bagi orang Arab, oase
adalah lambang kehidupan paling ideal karena suatu kehijauan di tengah
kegersangan padang gurun pasir yang luar biasa. Metafor “jalan
setapak” menuju oase inilah yang
disebut dengan syariah, menuju surga. Ada
banyak istilah lain yang dapat diartikan dengan jalan, seperti : sabil, manhaj,
minhaj, suluk, maslak, nusuk, mansak, dan seterusnya.
3. Zikir
a. Definisi
Zikir berasal dari kata dzakara yang berarti hafidza
fii dzihnih (memelihara
dalam ingatan). Term zikir berasal dari Al-Qur'an yang mempunyai makna luas.
Pertama, adz-Dzikru merupakan
salah satu dari Asmaul Husna, nama-nama Allah swt yang indah. Kedua, Adz-Dzikra merupakan
nama lain dari Al-Qur'an seperti terdapat dalam Qs. 15:9. " Inna nahnu nazzalnadz dzikra wa inna lahu lahafizun” (Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Adz-Dzikra dan
sesungguhnya Kamilah yang menjaganya). Pertanyaan bagi kita adalah : Mengapa
Allah swt memilih nama-Nya Adz-Dzikru ?
Zikir dalam perspektif esoteris adalah
jalan memasuki alam psikologi dan rohani dalam kedirian manusia.
Zikir adalah seluruh tingkah laku kita
yang berhubungan dengan Allah swt.
Zikir merupakan pekerjaan yang sangat
alami, karena merupakan bagian dari kebaktian.
Zikir merupakan sikap batin daripada sikap
lahir. “Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu, dengan rendah hati dan rasa gentar,
dan tanpa mengeraskan suara; waktu pagi dan petang, janganlah kamu termasuk
orang yang lalai.” Perasaan rendah hati dan gentar adalah merasakan keagungan
Tuhan. Karena itu zikir adalah suatu cara untuk menyadarkan kiata bahwa TUHAN
MAHA HADIR. Tuhan beserta kita di manapun kita berada. Inna ma’akum ayna ma kuntum (Dia beserta kamu di mana pun kamu berada). Wa
lillahi al-masyriq wa al-maghrib fa ayna ma tuwalla fatsamma wajhu Allah
(Milik Allah Timur dan Barat : ke mana pun kamu berpaling, disitulah kehadiran
Allah. QS. 2:115).
b. Prasyarat
Zikir
Sebaiknya menjauhkan makanan, minuman dan perbuatan
yang haram, dalam keadaan suci, menghadap kiblat dan posisi seperti duduk diantara
dua sujud.
c. Materi Zikir
Salah satunya adalah karena Dia tidak pernah melupakan
makhluk-Nya. Jabir ra meriwayatkan, Rasulullah menyatakan : Dzikir yang
paling utama adalah ungkapan : Laa ilaaha illallah.
d. Jenis Zikir
1). Zikir
dengan lisan (zikrul lisan, jahar). Menyebut adalah gerak lisan.
2). Zikir
dalam hati (zikrul qolbi, khofi). Mengingat adalah gerak hati.
Semua itu merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan. Zikir
yang sempurna, bertolak dari kekuatan hati ditangkap oleh akal, diucapkan
dengan lisan, lalu dibuktikan dengan ketaqwaan, amal nyata di dunia ini. Karena
itu, orang sempurna imannya disebut sebagai Ahluz Zikri yang salatnya khusyu.
e. Tujuan Zikir
Tujuan
zikir adalah taqwa, agar tidak tersesat dari jalan lurus, al-shirath
al-mustaqim. Bisa dibayangkan
jika kita keluar rumah dan tidak bisa pulang, akibatnya menimbulkan
kesengsaraan, dhalalah. Tersesat berarti tidak bisa kembali ke asal. Mintalah
petunjuk agar diberi jalan lurus, ghayr al-magdhubi
‘alayhim walad-dhal-lin (Bukan jalan mereka yang mendapat murka,
dan bukan mereka yang sesat jalan).
f. Waktu dan
Tempat Zikir
Zikir tidak mengenal tempat dan waktu, qiyaman wa qu’udan wa’ala junubihim (pada waktu berdiri pada
waktu duduk dan pada waktu berbarin, QS. 3:191). Tidak ada henti. Perintah
solat adalah perintah untuk zikir, aqimu al-salata lidzikri (tegakkan solat supaya
kamu ingat kepada-Ku). Semua pekerjaan kita menjadi zikir asal dapat ditarik
dimensinya dari kita kepada Allah.
g. Urgensi
Zikir
Zikir merupakan kebutuhan.
QS. Al-Baqoroh : 154. “ Maka ingatlah
kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah
kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.
QS. Ar-Ra’d : 27-29. “ Katakanlah Muhammad, “Sesungguhnya
Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi
petunjuk orang yang bertobat kepada-Nya”. “
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram, dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah
hati menjadi tenteram. “Orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebaikan,
mereka mendapat kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.”
QS. Al-Ahzab : 41-44. “Hai
orang-orang yang beriman berzikirlah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepadaNya di waktu pagi dan petang.”
QS. Al-Ahzab : 35. .... “Laki-laki
dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah menyediakan untuk mereka ampuna dan pahala yang besar.”
QS. Al-A’raf : 200-202. “Dan jika setan datang
menggodamu, maka berlindunglah kepada Allah. Sungguh Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
“Sesungguhnya
orang-orang yang bertaqwa apabila mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat
dosa) dari setan, mereka pun segera ingat kepada Allah, maka ketika itu juga
mereka melihat (kesalahan-kesalahannya). “Dan teman-teman mereka (orang kafir dan fasik)
membantu setan-setan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan).”
QS. Al-Anfal : 2-4. “Sesungguhnya orang-orang yang
beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah
gemetarlah hatinya, dan apabila dibacakan
ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan
mereka bertawakkal! “(yaitu) orang-orang yang melaksanakan salat dan yang
menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. “Mereka
itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh derajat (tinggi)
di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.
4. Modernitas
Krisis manusia modern seperti yang dilihat
dalam krisis sosial, krisis struktural dan normatif dalam kehidupan, bersumber
pada masalah makna. Modernisme dengan kemajuan teknologi dan pesatnya
industrialisasi dapat menciptakan manusia meraih kehidupan dengan perubahan
yang luar biasa. Namun, seiring dengan logika dan orientasi modern, kerja dan
materi kemudian menjadi aktualisasi kehidupan masyarakat, dan gagasan tentang
makna hidup terhancurkan.
Implikasinya, manusia kemudian menjadi
bagian mesin yang mati. Masyarakat kemudian tergiring pada proses penyamaan
diri dengan segala hal materi, serta pendalaman keterbelakangan mentalitas. Manusia semakin terbawa arus desakralisasi, dehumanisasi, karena ia selalu
disibukkan oleh pergulatan tentang subyek posistif dan hal yang empiris.
Ketika seluruh kehidupan menjadi begitu
melelahkan dan kebudayaan justru melahirkan kegersangan rohaniah, terjadilah
pendulum balik, spiritualitas menjadi sangat digemari oleh meraka yang dahulu
menolak prinsip-prinsip ruhani dalam hidup. Manusia kemudian menyenangi kearifan
tradisional yang menjanjikan pengembalian manusia pada fitrah dan mengembangkan
hidup bermakna.
Seorang Sufi (pelaku tasawuf) secara
lahiriah dia berjuang ke arah kualitas hidup yang lebih baik dan melakukan yang terbaik di muka bumi tanpa memperhatikan
hasil akhir secara berlebihan. Perjuangan dan kerja lahiriah perlu diimbangi
dengan penjernihan dan penataan hati.
5. Pemberdayaan
Kebijakan
pemberdayaan masyarakat, khususnya ekonomi membutuhkan strategi makro dan
mikro. Strategi makro harus menempatkan masyarakat sebagai obyek pemberdayaan.
Strategi mikro harus melibatkan partisipasi masyarakat. Kegiatan ekonomi masyarakat
selama ini ditandai dengan masih lemahnya terhadap akses aset produksi baik
tanah, modal maupun teknologi.
Solusi
atas problem tersebut adalah :
a.
Zakat
Infak Sadakah (ZIS). ZIS memiliki potensi yang luar biasa untuk menstimulasi dan
membangkitkan ekonomi masyarakat. Tidak ada bunga yang harus dibayarkan kepada
pemberi ZIS, karena ZIS adalah dana lepas. Sehingga biaya uang (cost of money) dan biaya pendanaan (cost of fund) jauh lebih rendah daripada
jika dana modal tersebut dari dana deposito nasabah.
b.
Wakaf. Wakaf
perlu dioptimalisasi melalui strategi pengumpulan, pengelolaan dan
pendayagunaan harta wakaf secara produktif. Di Indonesia, studi perwakafan
masih berfokus pada segi hukum fiqih an sich, dan belum menyentuh banyak pada
manajemen dan investasi pengembangan wakaf. Diharapkan sekali harta wakaf
benar-benar menjadi sumber dana dari masysrakat dan ditujukan untuk masyarakat.
Seseorang yang telah tercerahkan melihat seluruh alam ini dengan
hatinya. Dia melihat bukti-bukti kehadiran Allah, kapan saja dan dimana saja. Sufi
yang sejati tidak akan berhenti sebelum mantap dalam pengetahuan tentang
hakikat itu, dan ketika hal itu terjadi, semua cahaya lain, semua manifestasi
dan sifat yang mulia meluber dalam pancaran sinar dan kebangkitan batin.
C.
Khotimah
Akhirnya,
memang bukan kebenaran hakiki atau kebenaran harfiah suatu pendapat yang perlu
kita perhatikan. Yang perlu kita cermati adalah apakah pendapat itu dapat
menentramkan, memudahkan, menimbulkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi umat
manusia, minimal bagi mereka yang meyakini kebenaran pendapat itu. Dan yang
perlu kita tolak adalah pendapat yang bisa menimbulkan, kegaduhan, kriminalitas
dan kezaliman bagi manusia. Wallahu a’lam bis Showwaab !
Pustaka
DINU KIWARI NGANCIK NU BIHARI SEJA SAMPEUREUN JAGA
Komentar